Ancaman
disintegrasi bagi Indonesia bagai hantu yang selalu bergentayangan. Benarkah
ini grand strategy bangsa lain yang takut akan kebangkitan Nusantara
seperti di zaman Majapahit.
Indonesia saat ini adalah negara
majemuk terbesar di dunia yang masih utuh dan berdaulat. Di Indonesia
terdapat ratusan suku bangsa, yang masing-masing memiliki adat istiadat dan
bahasa sendiri. Kedaulatan ini tak lepas dari Sumpah Pemuda, yang hingga saat
ini masih menjadi faktor utama persatuan Indonesia. Sumpah ini adalah ikrar
bertumpah darah satu, tanah air Indonesia; Berbangsa satu, Bangsa Indonesia;
dan menjunjung bahasa Persatuan, Bahasa Indonesia.
Ikrar seperti itu tak dimiliki oleh
Uni Soviet sehingga negara superkuat ini tak memiliki bahasa persatuan. Hal
serupa juga terjadi di salah satu negara Balkan yaitu Yugoslavia padahal
kemerdekan negara ini dicapai melalui banjir darah dan air mata. Demikian
hebatnya perjuangan rakyat Yugoslavia sehingga sanggup mengusir tentara Nazi
Jerman pada 4 Juli 1941.
Kemudian pada tanggal 29 September 1943,
pemimpin perjuangan bersenjata Yugoslavia Josip Bros Tito membentuk “Anti
Facist Council for the National Liberation of Yugoslavia”, yang kemudian
dijadikan hari kemerdekaan Yugoslavia. Setelah itu, pada 1944 terbentuk 6
negara bagian Republik Sosialis Yugoslavia: Serbia, Montenegro, Croatia,
Macedonia, Slovenia dan Bosnia Harzegovina.
Setelah Tito meninggal, pertentangan
etnis mulai nampak, terutama pada akhir tahun 80’an ketika terjadikrisis
ekonomi. Beberapa negara bagian kemudian bahkan ingin merdeka. Krisis politik
pun memuncak, dan partai komunis yang saat itu berkuasa terpecah. Krisis
politik ini, setelah melewati beberapa perang saudara, berakhir dengan
bubarnya Yugoslavia pada 1992.
Perpecahan Yugoslavia inilah, yang
disaat kejatuhan rezim Orde Baru, memunculkan skenario tentang balkanisasi
Indonesia. Skenario ini adalah wujud pesimisme bahwa Indonesia tak akan
sanggup keluar dari kekacauan yang demikian hebat menjelang dan setelah
runtuhnya rezim Orde Baru.
Rand Corporation, salah satu think
tank pemerintahan Bill Clinton, pernah punya skenario bahwa Indonesia
akan pecah menjadi 8 negara: Papua, Aceh, Timor Raya, Kalimantan Timur, Bali,
Riau, Ambon dan sisanya masih bernama Indonesia.
Indikator Operasi Penggalangan Cerai
Beraikan Indonesia
Skenario tersebut memang logis
mengingat kondisi politik dan ekonomi kita yang sangat kacau akibat kriris
ekonomi 1998. Indonesia saat itu berpotensi jadi negara gagal. Ini karena
Indonesia juga sedang menghadapi separatis Aceh, dan Papua. Ditambah lagi
dengan konflik SARA di sejumlah daerah seperti di Ambon, dan Kalimantan
Tengah. Konflik yang bersifat vertikal dan horizontal itulah yang
memperkuat asumsi bahwa cara mudah menghancurkan Indonesia adalah dengan devide
et impera alias pecah-belah dan jajah.
Beberapa kalangan Intelijen
mengatakan, strategi tersebut didalangi oleh pihak asing melalui operasi
penggalangan yang bertujuan menghancurkan Indonesia. Teori penggalangan adalah
tahapan adu-domba, sebelum memasuki tahapan konsolidasi, dan diakhiri dengan
eksploitasi.
Dikupas dari teori penggalangan
tersebut, beberapa daerah masih menunjukkan indikasi skenario
Balkanisasi. Di Aceh misalnya, seperatisme secara ideologi masih berlanjut. Di
sana para tokoh GAM, yang kini mendominasi arena politik, selalu mengobarkan
semangat Bangsa Aceh untuk mengingatkan bahwa mereka seungguhnya berada di
bawah penjajahan Indonesia. Pengingatan ini sengaja terus dikobarkan agar
ketidaksenangan pada suku Jawa, yang sudah sejak zaman Belanda, tinggal
di Aceh, selalu terpelihara.
Lantas bagaimana mengaitkan peranan
asing dalam tahap konsolidasi dalam sebuah operasi Intelijen. Sangat
jelas bahwa perjanjian damai antara pemerintah RI dengan GAM tidak lepas dari
peranan Jusuf Kalla dan dr. Farid. Kedua tokoh ini memiliki kawan akrab bernama
Juha Cristensen, warga Swedia yang lama berdomisili di Makasar dan lancar
berbahasa Indonesia.
Juha Cristensen inilah yang kemudian
menghubungkan Pemerintah Indonesia dengan pimpinan GAM (Gerakan Aceh Merdeka)
di Swedia. Muara dari tahapan konsolidasi ini adalah penandatanganan MOU
Helsinki pada 15Agustus 2005 silam.
Setelah tahapan konsolidasi, pihak
asing kembali berperan pada tahap eksploitasi, yaitu dengan membuat kausal MOU
Helsinki yang sangat merugikan Indonesia dimana Aceh diberi status
otonomi khusus; memiliki UU pemerintahan sendiri; memiliki wali Nanggroe, yang
setara dengan raja semasa kejayaan Aceh Darussalam; dan Aceh memiliki
bendera dan lambang sendiri seperti di Yugoslavia sebelum pecah.
Kemudian bagaimana dengan Papua? Ternyata
skenario pemisahannya hampir serupa dengan Aceh. Yaitu dimulai dengan
menjadikan Papua sebagai daerah otonomi khusus. Posisi otonomi khusus ini
terlebih dahulu diawali tahapan adu domba agar orang Papua selalu merasa
dianak-tirikan karena bukan berasal dari rumpun melayu melainkan Austronesia.
Juga diciptakan kondisi
ketidakamanan di wilayah Papua melalui rangkaian kejadian penembakan oleh OTK
terhadap TNI, Polri maupun masyarakat biasa. Kejadian terakhir terjadi pada
8 Desember 2014 di Paniai. Situasi inilah yang akan dijadikan alasan
intervensi asing, khususnya Amerika Serikat dan sekutunya.
Kejadian Paniai ini sudah memicu
permintaan PBB agar pemerintah Indonesia memfasilitasi tim investigasi
independen untuk mengusut tragedi penembakan di Paniai adalah salah satu bentuk
intervensi halus. Pasalnya, PBB tidak akan pernah steril dari kepentingan
negara-negara besar, termasuk dari AS dan sekutunya. Masuknya Intervensi asing
ini adalah merupakan tahapan eksploitasi, yang menciptakan sasaran antara yaitu
Internasionalisasi masalah Papua dan berujung pada sasaran utama lain.
Selanjutnya bagaimana dengan wilayah
lain yang pernah mengalami konflik horizontal dan rasa saling benci belum
hilang sepenuhnya tapi mengendap di bawah permukaan. Dalam konteks ini pembantaian
terhadap orang Madura oleh Dayak di Kalimantan Tengah, atau perang
Kristen-Islam di Ambon adalah yang paling relevan.
Lantas bagiamana dengan Bali, yang
mulai disergap oleh kebencian terhadap orang Jawa akibat dampak sejarah
keruntuhan Majapahit. Atau ketidakpuasan orang Riau pada pemerintah pusat
karena merasa diperlakukan tidak adil pembagian jatah rezeki minyak bumi.
Dengan kompleksnya permasalahan yang
kita hadapi, wajar saja jika Balkanisasi Indonesia masih menjadi perhatian
pihak Barat, dan menjadi ancaman terhadap keutuhan Indonesia.
Sejumlah pengamat asing pernah mengemukakan bahwa Balkanisasi
Indonesia bisa terjadi karena semakin kuatnya dorongan sejumlah daerahseperti
Aceh dan Papua untuk memisahkan diri.
Waspada Balkanisasi
Pada tahun 2016, bukan tidak mungkin
skenario Balkanisasi dapat menjadi salah satu proyek politik luar negeri AS,
terutama jika Hillary Clinton berhasil memenangkan pemilu presiden AS.
Patut dicatat, rekomendasi Balkanisasi Nusantara yang pernah dirilis oleh
Rand Corporation adalah skenario yang diusulkan di masa pemerintahan Bill
Clinton. Dengan gaya politik luar negeri yang hampir sama, bukan tidak mungkin
skenario Balkanisasi akan diadopsi oleh Hillary Clinton.
Eskalasi ketegangan di Papua bisa
mengawali skenario besar perpecahan Indonesia. Bukan tidak mungkin eskalasi di
Papua akan semakin berdarah-darah sehingga membuka peluang bagi Barat untuk
melakukan invervensi. Bila akhirnya Papua lepas, bukan tidak mungkin akan
disusul Aceh, Ambon, Kalimantan bagian Timur, Timor Raya, Riau dan Bali.
IndonesianReview.com -- Ancaman disintegrasi bagi Indonesia bagai hantu yang selalu bergentayangan. Benarkah ini grand strategy bangsa lain yang takut akan kebangkitan Nusantara seperti di zaman Majapahit.
Indonesia saat ini adalah negara majemuk terbesar di dunia yang
masih utuh dan berdaulat. Di Indonesia terdapat ratusan suku bangsa,
yang masing-masing memiliki adat istiadat dan bahasa sendiri. Kedaulatan
ini tak lepas dari Sumpah Pemuda, yang hingga saat ini masih menjadi
faktor utama persatuan Indonesia. Sumpah ini adalah ikrar bertumpah
darah satu, tanah air Indonesia; Berbangsa satu, Bangsa Indonesia; dan
menjunjung bahasa Persatuan, Bahasa Indonesia.
Ikrar seperti itu tak dimiliki oleh Uni Soviet sehingga negara
superkuat ini tak memiliki bahasa persatuan. Hal serupa juga terjadi di
salah satu negara Balkan yaitu Yugoslavia padahal kemerdekan negara ini
dicapai melalui banjir darah dan air mata. Demikian hebatnya perjuangan
rakyat Yugoslavia sehingga sanggup mengusir tentara Nazi Jerman pada 4
Juli 1941.
Kemudian pada tanggal 29 September 1943, pemimpin perjuangan bersenjata Yugoslavia Josip Bros Tito membentuk “Anti Facist Council for the National Liberation of Yugoslavia”,
yang kemudian dijadikan hari kemerdekaan Yugoslavia. Setelah itu, pada
1944 terbentuk 6 negara bagian Republik Sosialis Yugoslavia: Serbia,
Montenegro, Croatia, Macedonia, Slovenia dan Bosnia Harzegovina.
Setelah Tito meninggal, pertentangan etnis mulai nampak, terutama
pada akhir tahun 80’an ketika terjadikrisis ekonomi. Beberapa negara
bagian kemudian bahkan ingin merdeka. Krisis politik pun memuncak, dan
partai komunis yang saat itu berkuasa terpecah. Krisis politik ini,
setelah melewati beberapa perang saudara, berakhir dengan bubarnya
Yugoslavia pada 1992.
Perpecahan Yugoslavia inilah, yang disaat kejatuhan rezim Orde Baru,
memunculkan skenario tentang balkanisasi Indonesia. Skenario ini adalah
wujud pesimisme bahwa Indonesia tak akan sanggup keluar dari kekacauan
yang demikian hebat menjelang dan setelah runtuhnya rezim Orde Baru.
Rand Corporation, salah satu think tank pemerintahan Bill Clinton,
pernah punya skenario bahwa Indonesia akan pecah menjadi 8 negara:
Papua, Aceh, Timor Raya, Kalimantan Timur, Bali, Riau, Ambon dan sisanya
masih bernama Indonesia.
Indikator Operasi Penggalangan Cerai Beraikan Indonesia
Skenario tersebut memang logis mengingat kondisi politik dan ekonomi
kita yang sangat kacau akibat kriris ekonomi 1998. Indonesia saat itu
berpotensi jadi negara gagal. Ini karena Indonesia juga sedang
menghadapi separatis Aceh, dan Papua. Ditambah lagi dengan konflik SARA
di sejumlah daerah seperti di Ambon, dan Kalimantan Tengah. Konflik
yang bersifat vertikal dan horizontal itulah yang memperkuat asumsi
bahwa cara mudah menghancurkan Indonesia adalah dengan devide et impera
alias pecah-belah dan jajah.
Beberapa kalangan Intelijen mengatakan, strategi tersebut didalangi
oleh pihak asing melalui operasi penggalangan yang bertujuan
menghancurkan Indonesia. Teori penggalangan adalah tahapan adu-domba,
sebelum memasuki tahapan konsolidasi, dan diakhiri dengan eksploitasi.
Dikupas dari teori penggalangan tersebut, beberapa daerah masih
menunjukkan indikasi skenario Balkanisasi. Di Aceh misalnya,
seperatisme secara ideologi masih berlanjut. Di sana para tokoh GAM,
yang kini mendominasi arena politik, selalu mengobarkan semangat Bangsa
Aceh untuk mengingatkan bahwa mereka seungguhnya berada di bawah
penjajahan Indonesia. Pengingatan ini sengaja terus dikobarkan agar
ketidaksenangan pada suku Jawa, yang sudah sejak zaman Belanda, tinggal
di Aceh, selalu terpelihara.
Lantas bagaimana mengaitkan peranan asing dalam tahap konsolidasi
dalam sebuah operasi Intelijen. Sangat jelas bahwa perjanjian damai
antara pemerintah RI dengan GAM tidak lepas dari peranan Jusuf Kalla dan
dr. Farid. Kedua tokoh ini memiliki kawan akrab bernama Juha
Cristensen, warga Swedia yang lama berdomisili di Makasar dan lancar
berbahasa Indonesia.
Juha Cristensen inilah yang kemudian menghubungkan Pemerintah
Indonesia dengan pimpinan GAM (Gerakan Aceh Merdeka) di Swedia. Muara
dari tahapan konsolidasi ini adalah penandatanganan MOU Helsinki pada
15Agustus 2005 silam.
Setelah tahapan konsolidasi, pihak asing kembali berperan pada tahap
eksploitasi, yaitu dengan membuat kausal MOU Helsinki yang sangat
merugikan Indonesia dimana Aceh diberi status otonomi khusus; memiliki
UU pemerintahan sendiri; memiliki wali Nanggroe, yang setara dengan raja
semasa kejayaan Aceh Darussalam; dan Aceh memiliki bendera dan lambang
sendiri seperti di Yugoslavia sebelum pecah.
Kemudian bagaimana dengan Papua? Ternyata skenario pemisahannya
hampir serupa dengan Aceh. Yaitu dimulai dengan menjadikan Papua sebagai
daerah otonomi khusus. Posisi otonomi khusus ini terlebih dahulu
diawali tahapan adu domba agar orang Papua selalu merasa dianak-tirikan
karena bukan berasal dari rumpun melayu melainkan Austronesia.
Juga diciptakan kondisi ketidakamanan di wilayah Papua melalui
rangkaian kejadian penembakan oleh OTK terhadap TNI, Polri maupun
masyarakat biasa. Kejadian terakhir terjadi pada 8 Desember 2014 di
Paniai. Situasi inilah yang akan dijadikan alasan intervensi asing,
khususnya Amerika Serikat dan sekutunya.
Kejadian Paniai ini sudah memicu permintaan PBB agar pemerintah
Indonesia memfasilitasi tim investigasi independen untuk mengusut
tragedi penembakan di Paniai adalah salah satu bentuk intervensi halus.
Pasalnya, PBB tidak akan pernah steril dari kepentingan negara-negara
besar, termasuk dari AS dan sekutunya. Masuknya Intervensi asing ini
adalah merupakan tahapan eksploitasi, yang menciptakan sasaran antara
yaitu Internasionalisasi masalah Papua dan berujung pada sasaran utama
lain.
Selanjutnya bagaimana dengan wilayah lain yang pernah mengalami
konflik horizontal dan rasa saling benci belum hilang sepenuhnya tapi
mengendap di bawah permukaan. Dalam konteks ini pembantaian terhadap
orang Madura oleh Dayak di Kalimantan Tengah, atau perang Kristen-Islam
di Ambon adalah yang paling relevan.
Lantas bagiamana dengan Bali, yang mulai disergap oleh kebencian
terhadap orang Jawa akibat dampak sejarah keruntuhan Majapahit. Atau
ketidakpuasan orang Riau pada pemerintah pusat karena merasa
diperlakukan tidak adil pembagian jatah rezeki minyak bumi.
Dengan kompleksnya permasalahan yang kita hadapi, wajar saja jika
Balkanisasi Indonesia masih menjadi perhatian pihak Barat, dan menjadi
ancaman terhadap keutuhan Indonesia. Sejumlah pengamat asing pernah
mengemukakan bahwa Balkanisasi Indonesia bisa terjadi karena semakin
kuatnya dorongan sejumlah daerahseperti Aceh dan Papua untuk memisahkan
diri.
Waspada Balkanisasi
Pada tahun 2016, bukan tidak mungkin skenario Balkanisasi dapat
menjadi salah satu proyek politik luar negeri AS, terutama jika Hillary
Clinton berhasil memenangkan pemilu presiden AS. Patut dicatat,
rekomendasi Balkanisasi Nusantara yang pernah dirilis oleh Rand
Corporation adalah skenario yang diusulkan di masa pemerintahan Bill
Clinton. Dengan gaya politik luar negeri yang hampir sama, bukan tidak
mungkin skenario Balkanisasi akan diadopsi oleh Hillary Clinton.
Eskalasi ketegangan di Papua bisa mengawali skenario besar perpecahan
Indonesia. Bukan tidak mungkin eskalasi di Papua akan semakin
berdarah-darah sehingga membuka peluang bagi Barat untuk melakukan
invervensi. Bila akhirnya Papua lepas, bukan tidak mungkin akan disusul
Aceh, Ambon, Kalimantan bagian Timur, Timor Raya, Riau dan Bali.
- See more at: http://indonesianreview.com/m-ahnas/cerai-beraikan-indonesia#sthash.NQpF3s6Y.dpuf
IndonesianReview.com -- Ancaman disintegrasi bagi Indonesia bagai hantu yang selalu bergentayangan. Benarkah ini grand strategy bangsa lain yang takut akan kebangkitan Nusantara seperti di zaman Majapahit.
Indonesia saat ini adalah negara majemuk terbesar di dunia yang
masih utuh dan berdaulat. Di Indonesia terdapat ratusan suku bangsa,
yang masing-masing memiliki adat istiadat dan bahasa sendiri. Kedaulatan
ini tak lepas dari Sumpah Pemuda, yang hingga saat ini masih menjadi
faktor utama persatuan Indonesia. Sumpah ini adalah ikrar bertumpah
darah satu, tanah air Indonesia; Berbangsa satu, Bangsa Indonesia; dan
menjunjung bahasa Persatuan, Bahasa Indonesia.
Ikrar seperti itu tak dimiliki oleh Uni Soviet sehingga negara
superkuat ini tak memiliki bahasa persatuan. Hal serupa juga terjadi di
salah satu negara Balkan yaitu Yugoslavia padahal kemerdekan negara ini
dicapai melalui banjir darah dan air mata. Demikian hebatnya perjuangan
rakyat Yugoslavia sehingga sanggup mengusir tentara Nazi Jerman pada 4
Juli 1941.
Kemudian pada tanggal 29 September 1943, pemimpin perjuangan bersenjata Yugoslavia Josip Bros Tito membentuk “Anti Facist Council for the National Liberation of Yugoslavia”,
yang kemudian dijadikan hari kemerdekaan Yugoslavia. Setelah itu, pada
1944 terbentuk 6 negara bagian Republik Sosialis Yugoslavia: Serbia,
Montenegro, Croatia, Macedonia, Slovenia dan Bosnia Harzegovina.
Setelah Tito meninggal, pertentangan etnis mulai nampak, terutama
pada akhir tahun 80’an ketika terjadikrisis ekonomi. Beberapa negara
bagian kemudian bahkan ingin merdeka. Krisis politik pun memuncak, dan
partai komunis yang saat itu berkuasa terpecah. Krisis politik ini,
setelah melewati beberapa perang saudara, berakhir dengan bubarnya
Yugoslavia pada 1992.
Perpecahan Yugoslavia inilah, yang disaat kejatuhan rezim Orde Baru,
memunculkan skenario tentang balkanisasi Indonesia. Skenario ini adalah
wujud pesimisme bahwa Indonesia tak akan sanggup keluar dari kekacauan
yang demikian hebat menjelang dan setelah runtuhnya rezim Orde Baru.
Rand Corporation, salah satu think tank pemerintahan Bill Clinton,
pernah punya skenario bahwa Indonesia akan pecah menjadi 8 negara:
Papua, Aceh, Timor Raya, Kalimantan Timur, Bali, Riau, Ambon dan sisanya
masih bernama Indonesia.
Indikator Operasi Penggalangan Cerai Beraikan Indonesia
Skenario tersebut memang logis mengingat kondisi politik dan ekonomi
kita yang sangat kacau akibat kriris ekonomi 1998. Indonesia saat itu
berpotensi jadi negara gagal. Ini karena Indonesia juga sedang
menghadapi separatis Aceh, dan Papua. Ditambah lagi dengan konflik SARA
di sejumlah daerah seperti di Ambon, dan Kalimantan Tengah. Konflik
yang bersifat vertikal dan horizontal itulah yang memperkuat asumsi
bahwa cara mudah menghancurkan Indonesia adalah dengan devide et impera
alias pecah-belah dan jajah.
Beberapa kalangan Intelijen mengatakan, strategi tersebut didalangi
oleh pihak asing melalui operasi penggalangan yang bertujuan
menghancurkan Indonesia. Teori penggalangan adalah tahapan adu-domba,
sebelum memasuki tahapan konsolidasi, dan diakhiri dengan eksploitasi.
Dikupas dari teori penggalangan tersebut, beberapa daerah masih
menunjukkan indikasi skenario Balkanisasi. Di Aceh misalnya,
seperatisme secara ideologi masih berlanjut. Di sana para tokoh GAM,
yang kini mendominasi arena politik, selalu mengobarkan semangat Bangsa
Aceh untuk mengingatkan bahwa mereka seungguhnya berada di bawah
penjajahan Indonesia. Pengingatan ini sengaja terus dikobarkan agar
ketidaksenangan pada suku Jawa, yang sudah sejak zaman Belanda, tinggal
di Aceh, selalu terpelihara.
Lantas bagaimana mengaitkan peranan asing dalam tahap konsolidasi
dalam sebuah operasi Intelijen. Sangat jelas bahwa perjanjian damai
antara pemerintah RI dengan GAM tidak lepas dari peranan Jusuf Kalla dan
dr. Farid. Kedua tokoh ini memiliki kawan akrab bernama Juha
Cristensen, warga Swedia yang lama berdomisili di Makasar dan lancar
berbahasa Indonesia.
Juha Cristensen inilah yang kemudian menghubungkan Pemerintah
Indonesia dengan pimpinan GAM (Gerakan Aceh Merdeka) di Swedia. Muara
dari tahapan konsolidasi ini adalah penandatanganan MOU Helsinki pada
15Agustus 2005 silam.
Setelah tahapan konsolidasi, pihak asing kembali berperan pada tahap
eksploitasi, yaitu dengan membuat kausal MOU Helsinki yang sangat
merugikan Indonesia dimana Aceh diberi status otonomi khusus; memiliki
UU pemerintahan sendiri; memiliki wali Nanggroe, yang setara dengan raja
semasa kejayaan Aceh Darussalam; dan Aceh memiliki bendera dan lambang
sendiri seperti di Yugoslavia sebelum pecah.
Kemudian bagaimana dengan Papua? Ternyata skenario pemisahannya
hampir serupa dengan Aceh. Yaitu dimulai dengan menjadikan Papua sebagai
daerah otonomi khusus. Posisi otonomi khusus ini terlebih dahulu
diawali tahapan adu domba agar orang Papua selalu merasa dianak-tirikan
karena bukan berasal dari rumpun melayu melainkan Austronesia.
Juga diciptakan kondisi ketidakamanan di wilayah Papua melalui
rangkaian kejadian penembakan oleh OTK terhadap TNI, Polri maupun
masyarakat biasa. Kejadian terakhir terjadi pada 8 Desember 2014 di
Paniai. Situasi inilah yang akan dijadikan alasan intervensi asing,
khususnya Amerika Serikat dan sekutunya.
Kejadian Paniai ini sudah memicu permintaan PBB agar pemerintah
Indonesia memfasilitasi tim investigasi independen untuk mengusut
tragedi penembakan di Paniai adalah salah satu bentuk intervensi halus.
Pasalnya, PBB tidak akan pernah steril dari kepentingan negara-negara
besar, termasuk dari AS dan sekutunya. Masuknya Intervensi asing ini
adalah merupakan tahapan eksploitasi, yang menciptakan sasaran antara
yaitu Internasionalisasi masalah Papua dan berujung pada sasaran utama
lain.
Selanjutnya bagaimana dengan wilayah lain yang pernah mengalami
konflik horizontal dan rasa saling benci belum hilang sepenuhnya tapi
mengendap di bawah permukaan. Dalam konteks ini pembantaian terhadap
orang Madura oleh Dayak di Kalimantan Tengah, atau perang Kristen-Islam
di Ambon adalah yang paling relevan.
Lantas bagiamana dengan Bali, yang mulai disergap oleh kebencian
terhadap orang Jawa akibat dampak sejarah keruntuhan Majapahit. Atau
ketidakpuasan orang Riau pada pemerintah pusat karena merasa
diperlakukan tidak adil pembagian jatah rezeki minyak bumi.
Dengan kompleksnya permasalahan yang kita hadapi, wajar saja jika
Balkanisasi Indonesia masih menjadi perhatian pihak Barat, dan menjadi
ancaman terhadap keutuhan Indonesia. Sejumlah pengamat asing pernah
mengemukakan bahwa Balkanisasi Indonesia bisa terjadi karena semakin
kuatnya dorongan sejumlah daerahseperti Aceh dan Papua untuk memisahkan
diri.
Waspada Balkanisasi
Pada tahun 2016, bukan tidak mungkin skenario Balkanisasi dapat
menjadi salah satu proyek politik luar negeri AS, terutama jika Hillary
Clinton berhasil memenangkan pemilu presiden AS. Patut dicatat,
rekomendasi Balkanisasi Nusantara yang pernah dirilis oleh Rand
Corporation adalah skenario yang diusulkan di masa pemerintahan Bill
Clinton. Dengan gaya politik luar negeri yang hampir sama, bukan tidak
mungkin skenario Balkanisasi akan diadopsi oleh Hillary Clinton.
Eskalasi ketegangan di Papua bisa mengawali skenario besar perpecahan
Indonesia. Bukan tidak mungkin eskalasi di Papua akan semakin
berdarah-darah sehingga membuka peluang bagi Barat untuk melakukan
invervensi. Bila akhirnya Papua lepas, bukan tidak mungkin akan disusul
Aceh, Ambon, Kalimantan bagian Timur, Timor Raya, Riau dan Bali.
- See more at: http://indonesianreview.com/m-ahnas/cerai-beraikan-indonesia#sthash.NQpF3s6Y.dpuf
IndonesianReview.com -- Ancaman disintegrasi bagi Indonesia bagai hantu yang selalu bergentayangan. Benarkah ini grand strategy bangsa lain yang takut akan kebangkitan Nusantara seperti di zaman Majapahit.
Indonesia saat ini adalah negara majemuk terbesar di dunia yang
masih utuh dan berdaulat. Di Indonesia terdapat ratusan suku bangsa,
yang masing-masing memiliki adat istiadat dan bahasa sendiri. Kedaulatan
ini tak lepas dari Sumpah Pemuda, yang hingga saat ini masih menjadi
faktor utama persatuan Indonesia. Sumpah ini adalah ikrar bertumpah
darah satu, tanah air Indonesia; Berbangsa satu, Bangsa Indonesia; dan
menjunjung bahasa Persatuan, Bahasa Indonesia.
Ikrar seperti itu tak dimiliki oleh Uni Soviet sehingga negara
superkuat ini tak memiliki bahasa persatuan. Hal serupa juga terjadi di
salah satu negara Balkan yaitu Yugoslavia padahal kemerdekan negara ini
dicapai melalui banjir darah dan air mata. Demikian hebatnya perjuangan
rakyat Yugoslavia sehingga sanggup mengusir tentara Nazi Jerman pada 4
Juli 1941.
Kemudian pada tanggal 29 September 1943, pemimpin perjuangan bersenjata Yugoslavia Josip Bros Tito membentuk “Anti Facist Council for the National Liberation of Yugoslavia”,
yang kemudian dijadikan hari kemerdekaan Yugoslavia. Setelah itu, pada
1944 terbentuk 6 negara bagian Republik Sosialis Yugoslavia: Serbia,
Montenegro, Croatia, Macedonia, Slovenia dan Bosnia Harzegovina.
Setelah Tito meninggal, pertentangan etnis mulai nampak, terutama
pada akhir tahun 80’an ketika terjadikrisis ekonomi. Beberapa negara
bagian kemudian bahkan ingin merdeka. Krisis politik pun memuncak, dan
partai komunis yang saat itu berkuasa terpecah. Krisis politik ini,
setelah melewati beberapa perang saudara, berakhir dengan bubarnya
Yugoslavia pada 1992.
Perpecahan Yugoslavia inilah, yang disaat kejatuhan rezim Orde Baru,
memunculkan skenario tentang balkanisasi Indonesia. Skenario ini adalah
wujud pesimisme bahwa Indonesia tak akan sanggup keluar dari kekacauan
yang demikian hebat menjelang dan setelah runtuhnya rezim Orde Baru.
Rand Corporation, salah satu think tank pemerintahan Bill Clinton,
pernah punya skenario bahwa Indonesia akan pecah menjadi 8 negara:
Papua, Aceh, Timor Raya, Kalimantan Timur, Bali, Riau, Ambon dan sisanya
masih bernama Indonesia.
Indikator Operasi Penggalangan Cerai Beraikan Indonesia
Skenario tersebut memang logis mengingat kondisi politik dan ekonomi
kita yang sangat kacau akibat kriris ekonomi 1998. Indonesia saat itu
berpotensi jadi negara gagal. Ini karena Indonesia juga sedang
menghadapi separatis Aceh, dan Papua. Ditambah lagi dengan konflik SARA
di sejumlah daerah seperti di Ambon, dan Kalimantan Tengah. Konflik
yang bersifat vertikal dan horizontal itulah yang memperkuat asumsi
bahwa cara mudah menghancurkan Indonesia adalah dengan devide et impera
alias pecah-belah dan jajah.
Beberapa kalangan Intelijen mengatakan, strategi tersebut didalangi
oleh pihak asing melalui operasi penggalangan yang bertujuan
menghancurkan Indonesia. Teori penggalangan adalah tahapan adu-domba,
sebelum memasuki tahapan konsolidasi, dan diakhiri dengan eksploitasi.
Dikupas dari teori penggalangan tersebut, beberapa daerah masih
menunjukkan indikasi skenario Balkanisasi. Di Aceh misalnya,
seperatisme secara ideologi masih berlanjut. Di sana para tokoh GAM,
yang kini mendominasi arena politik, selalu mengobarkan semangat Bangsa
Aceh untuk mengingatkan bahwa mereka seungguhnya berada di bawah
penjajahan Indonesia. Pengingatan ini sengaja terus dikobarkan agar
ketidaksenangan pada suku Jawa, yang sudah sejak zaman Belanda, tinggal
di Aceh, selalu terpelihara.
Lantas bagaimana mengaitkan peranan asing dalam tahap konsolidasi
dalam sebuah operasi Intelijen. Sangat jelas bahwa perjanjian damai
antara pemerintah RI dengan GAM tidak lepas dari peranan Jusuf Kalla dan
dr. Farid. Kedua tokoh ini memiliki kawan akrab bernama Juha
Cristensen, warga Swedia yang lama berdomisili di Makasar dan lancar
berbahasa Indonesia.
Juha Cristensen inilah yang kemudian menghubungkan Pemerintah
Indonesia dengan pimpinan GAM (Gerakan Aceh Merdeka) di Swedia. Muara
dari tahapan konsolidasi ini adalah penandatanganan MOU Helsinki pada
15Agustus 2005 silam.
Setelah tahapan konsolidasi, pihak asing kembali berperan pada tahap
eksploitasi, yaitu dengan membuat kausal MOU Helsinki yang sangat
merugikan Indonesia dimana Aceh diberi status otonomi khusus; memiliki
UU pemerintahan sendiri; memiliki wali Nanggroe, yang setara dengan raja
semasa kejayaan Aceh Darussalam; dan Aceh memiliki bendera dan lambang
sendiri seperti di Yugoslavia sebelum pecah.
Kemudian bagaimana dengan Papua? Ternyata skenario pemisahannya
hampir serupa dengan Aceh. Yaitu dimulai dengan menjadikan Papua sebagai
daerah otonomi khusus. Posisi otonomi khusus ini terlebih dahulu
diawali tahapan adu domba agar orang Papua selalu merasa dianak-tirikan
karena bukan berasal dari rumpun melayu melainkan Austronesia.
Juga diciptakan kondisi ketidakamanan di wilayah Papua melalui
rangkaian kejadian penembakan oleh OTK terhadap TNI, Polri maupun
masyarakat biasa. Kejadian terakhir terjadi pada 8 Desember 2014 di
Paniai. Situasi inilah yang akan dijadikan alasan intervensi asing,
khususnya Amerika Serikat dan sekutunya.
Kejadian Paniai ini sudah memicu permintaan PBB agar pemerintah
Indonesia memfasilitasi tim investigasi independen untuk mengusut
tragedi penembakan di Paniai adalah salah satu bentuk intervensi halus.
Pasalnya, PBB tidak akan pernah steril dari kepentingan negara-negara
besar, termasuk dari AS dan sekutunya. Masuknya Intervensi asing ini
adalah merupakan tahapan eksploitasi, yang menciptakan sasaran antara
yaitu Internasionalisasi masalah Papua dan berujung pada sasaran utama
lain.
Selanjutnya bagaimana dengan wilayah lain yang pernah mengalami
konflik horizontal dan rasa saling benci belum hilang sepenuhnya tapi
mengendap di bawah permukaan. Dalam konteks ini pembantaian terhadap
orang Madura oleh Dayak di Kalimantan Tengah, atau perang Kristen-Islam
di Ambon adalah yang paling relevan.
Lantas bagiamana dengan Bali, yang mulai disergap oleh kebencian
terhadap orang Jawa akibat dampak sejarah keruntuhan Majapahit. Atau
ketidakpuasan orang Riau pada pemerintah pusat karena merasa
diperlakukan tidak adil pembagian jatah rezeki minyak bumi.
Dengan kompleksnya permasalahan yang kita hadapi, wajar saja jika
Balkanisasi Indonesia masih menjadi perhatian pihak Barat, dan menjadi
ancaman terhadap keutuhan Indonesia. Sejumlah pengamat asing pernah
mengemukakan bahwa Balkanisasi Indonesia bisa terjadi karena semakin
kuatnya dorongan sejumlah daerahseperti Aceh dan Papua untuk memisahkan
diri.
Waspada Balkanisasi
Pada tahun 2016, bukan tidak mungkin skenario Balkanisasi dapat
menjadi salah satu proyek politik luar negeri AS, terutama jika Hillary
Clinton berhasil memenangkan pemilu presiden AS. Patut dicatat,
rekomendasi Balkanisasi Nusantara yang pernah dirilis oleh Rand
Corporation adalah skenario yang diusulkan di masa pemerintahan Bill
Clinton. Dengan gaya politik luar negeri yang hampir sama, bukan tidak
mungkin skenario Balkanisasi akan diadopsi oleh Hillary Clinton.
Eskalasi ketegangan di Papua bisa mengawali skenario besar perpecahan
Indonesia. Bukan tidak mungkin eskalasi di Papua akan semakin
berdarah-darah sehingga membuka peluang bagi Barat untuk melakukan
invervensi. Bila akhirnya Papua lepas, bukan tidak mungkin akan disusul
Aceh, Ambon, Kalimantan bagian Timur, Timor Raya, Riau dan Bali.
- See more at: http://indonesianreview.com/m-ahnas/cerai-beraikan-indonesia#sthash.NQpF3s6Y.dpuf