ucapan

TERIMA KASIH KUNJUNGAN DAN KOMENTARNYA SEMOGA BERMANFAAT

Minggu, 22 Februari 2015

HANTU DISINTEGRASI

Indonesia
Ancaman disintegrasi bagi Indonesia bagai hantu yang selalu bergentayangan. Benarkah ini grand strategy bangsa lain yang takut akan kebangkitan Nusantara seperti di zaman Majapahit. 
Indonesia saat ini adalah negara majemuk terbesar  di dunia yang masih utuh dan berdaulat. Di Indonesia terdapat ratusan suku bangsa, yang masing-masing memiliki adat istiadat dan bahasa sendiri. Kedaulatan ini tak lepas dari Sumpah Pemuda, yang hingga saat ini masih menjadi faktor utama persatuan Indonesia. Sumpah ini adalah ikrar bertumpah darah satu, tanah air Indonesia; Berbangsa satu, Bangsa Indonesia; dan menjunjung bahasa Persatuan, Bahasa Indonesia.
Ikrar seperti itu tak dimiliki oleh Uni Soviet sehingga negara superkuat ini tak memiliki bahasa persatuan. Hal serupa juga terjadi di salah satu negara Balkan yaitu Yugoslavia padahal kemerdekan negara ini dicapai melalui banjir darah dan air mata. Demikian hebatnya perjuangan rakyat Yugoslavia sehingga sanggup mengusir tentara Nazi Jerman pada  4 Juli 1941.
Kemudian pada tanggal 29 September 1943, pemimpin perjuangan bersenjata Yugoslavia Josip Bros Tito membentuk “Anti Facist Council for the National Liberation of Yugoslavia”, yang kemudian dijadikan hari kemerdekaan Yugoslavia. Setelah itu, pada 1944 terbentuk 6 negara bagian Republik Sosialis Yugoslavia: Serbia, Montenegro, Croatia, Macedonia, Slovenia dan Bosnia Harzegovina. 
Setelah Tito meninggal, pertentangan etnis mulai nampak, terutama pada akhir tahun 80’an ketika  terjadikrisis ekonomi. Beberapa negara bagian kemudian bahkan ingin merdeka. Krisis politik pun memuncak, dan partai komunis yang saat itu berkuasa terpecah. Krisis politik ini, setelah melewati beberapa perang saudara,  berakhir dengan bubarnya Yugoslavia pada 1992.
Perpecahan Yugoslavia inilah, yang disaat kejatuhan rezim Orde Baru, memunculkan skenario tentang balkanisasi Indonesia. Skenario ini adalah wujud  pesimisme bahwa Indonesia tak akan sanggup keluar dari kekacauan yang demikian hebat menjelang dan setelah runtuhnya rezim Orde Baru.  
Rand Corporation, salah satu think tank pemerintahan Bill Clinton,  pernah punya skenario bahwa Indonesia akan pecah menjadi 8 negara: Papua, Aceh, Timor Raya, Kalimantan Timur, Bali, Riau, Ambon dan sisanya masih bernama Indonesia.
Indikator Operasi Penggalangan Cerai Beraikan Indonesia
Skenario tersebut memang logis mengingat kondisi politik dan ekonomi kita yang sangat kacau akibat kriris ekonomi 1998. Indonesia saat itu berpotensi jadi negara gagal. Ini karena Indonesia juga sedang menghadapi separatis Aceh, dan Papua. Ditambah lagi dengan konflik SARA di sejumlah daerah seperti di Ambon, dan Kalimantan Tengah.  Konflik yang bersifat vertikal dan horizontal itulah yang memperkuat asumsi bahwa cara mudah menghancurkan Indonesia adalah dengan devide et impera alias pecah-belah dan jajah.
Beberapa kalangan Intelijen mengatakan, strategi tersebut didalangi oleh pihak asing melalui operasi penggalangan yang bertujuan menghancurkan Indonesia. Teori penggalangan adalah tahapan adu-domba, sebelum memasuki tahapan konsolidasi, dan diakhiri dengan eksploitasi. 
Dikupas dari teori penggalangan tersebut, beberapa daerah masih menunjukkan indikasi  skenario Balkanisasi. Di Aceh misalnya, seperatisme secara ideologi masih berlanjut. Di sana para tokoh GAM, yang kini mendominasi arena politik, selalu mengobarkan semangat Bangsa Aceh untuk mengingatkan bahwa mereka seungguhnya berada di bawah penjajahan Indonesia. Pengingatan ini sengaja terus dikobarkan agar ketidaksenangan pada suku Jawa, yang sudah sejak  zaman Belanda, tinggal di Aceh, selalu terpelihara.
Lantas bagaimana mengaitkan peranan asing dalam  tahap konsolidasi dalam sebuah operasi Intelijen. Sangat jelas bahwa perjanjian damai antara pemerintah RI dengan GAM tidak lepas dari peranan Jusuf Kalla dan dr. Farid. Kedua tokoh ini memiliki kawan akrab bernama Juha Cristensen, warga Swedia yang lama berdomisili di Makasar dan lancar berbahasa Indonesia.
Juha Cristensen inilah yang kemudian menghubungkan Pemerintah Indonesia dengan pimpinan GAM (Gerakan Aceh Merdeka) di Swedia. Muara dari tahapan konsolidasi ini adalah penandatanganan MOU Helsinki pada 15Agustus 2005 silam.
Setelah tahapan konsolidasi, pihak asing kembali berperan pada tahap eksploitasi, yaitu dengan membuat kausal MOU Helsinki yang sangat merugikan Indonesia  dimana Aceh diberi status otonomi khusus; memiliki UU pemerintahan sendiri; memiliki wali Nanggroe, yang setara dengan raja semasa kejayaan Aceh Darussalam; dan  Aceh memiliki bendera dan lambang sendiri seperti di Yugoslavia sebelum pecah.
Kemudian bagaimana dengan Papua? Ternyata skenario pemisahannya hampir serupa dengan Aceh. Yaitu dimulai dengan menjadikan Papua sebagai daerah otonomi khusus. Posisi otonomi khusus ini terlebih dahulu diawali tahapan adu domba agar orang Papua selalu merasa dianak-tirikan karena bukan berasal dari rumpun melayu melainkan Austronesia.
Juga diciptakan kondisi ketidakamanan di wilayah Papua melalui rangkaian kejadian penembakan oleh OTK terhadap TNI, Polri maupun masyarakat biasa. Kejadian terakhir terjadi pada  8 Desember 2014 di Paniai. Situasi inilah yang akan dijadikan alasan intervensi asing, khususnya Amerika Serikat dan sekutunya.
Kejadian Paniai ini sudah memicu permintaan PBB agar pemerintah Indonesia memfasilitasi tim investigasi independen untuk mengusut tragedi penembakan di Paniai adalah salah satu bentuk intervensi halus. Pasalnya, PBB tidak akan pernah steril dari kepentingan negara-negara besar, termasuk dari AS dan sekutunya. Masuknya Intervensi asing ini adalah merupakan tahapan eksploitasi, yang menciptakan sasaran antara yaitu Internasionalisasi masalah Papua dan berujung pada sasaran utama lain.
Selanjutnya bagaimana dengan wilayah lain yang pernah mengalami konflik horizontal dan rasa saling benci belum hilang sepenuhnya tapi mengendap di bawah permukaan. Dalam konteks ini pembantaian terhadap orang Madura oleh Dayak di Kalimantan Tengah, atau perang Kristen-Islam di Ambon adalah yang paling relevan.
Lantas bagiamana dengan Bali, yang mulai disergap oleh kebencian terhadap orang Jawa akibat dampak sejarah keruntuhan Majapahit. Atau ketidakpuasan orang Riau pada pemerintah pusat karena merasa diperlakukan tidak adil pembagian jatah rezeki minyak bumi.
Dengan kompleksnya permasalahan yang kita hadapi, wajar saja jika Balkanisasi Indonesia masih menjadi perhatian pihak Barat, dan menjadi ancaman terhadap keutuhan Indonesia.   Sejumlah pengamat asing pernah mengemukakan bahwa Balkanisasi Indonesia bisa terjadi karena semakin kuatnya dorongan sejumlah daerahseperti Aceh dan Papua untuk memisahkan diri.
Waspada Balkanisasi
Pada tahun 2016, bukan tidak mungkin skenario Balkanisasi dapat menjadi salah satu proyek politik luar negeri AS, terutama jika Hillary Clinton berhasil memenangkan pemilu presiden AS. Patut  dicatat, rekomendasi Balkanisasi Nusantara yang pernah dirilis oleh Rand Corporation adalah skenario yang diusulkan di masa pemerintahan Bill Clinton. Dengan gaya politik luar negeri yang hampir sama, bukan tidak mungkin skenario Balkanisasi akan diadopsi oleh Hillary Clinton.
Eskalasi ketegangan di Papua bisa mengawali skenario besar perpecahan Indonesia. Bukan tidak mungkin eskalasi di Papua akan semakin berdarah-darah sehingga membuka peluang bagi Barat untuk melakukan invervensi. Bila akhirnya Papua lepas, bukan tidak mungkin akan disusul Aceh, Ambon, Kalimantan bagian Timur, Timor Raya, Riau dan Bali.
Ancaman Asing
IndonesianReview.com -- Ancaman disintegrasi bagi Indonesia bagai hantu yang selalu bergentayangan. Benarkah ini grand strategy bangsa lain yang takut akan kebangkitan Nusantara seperti di zaman Majapahit. 
Indonesia saat ini adalah negara majemuk terbesar  di dunia yang masih utuh dan berdaulat. Di Indonesia terdapat ratusan suku bangsa, yang masing-masing memiliki adat istiadat dan bahasa sendiri. Kedaulatan ini tak lepas dari Sumpah Pemuda, yang hingga saat ini masih menjadi faktor utama persatuan Indonesia. Sumpah ini adalah ikrar bertumpah darah satu, tanah air Indonesia; Berbangsa satu, Bangsa Indonesia; dan menjunjung bahasa Persatuan, Bahasa Indonesia.
Ikrar seperti itu tak dimiliki oleh Uni Soviet sehingga negara superkuat ini tak memiliki bahasa persatuan. Hal serupa juga terjadi di salah satu negara Balkan yaitu Yugoslavia padahal kemerdekan negara ini dicapai melalui banjir darah dan air mata. Demikian hebatnya perjuangan rakyat Yugoslavia sehingga sanggup mengusir tentara Nazi Jerman pada  4 Juli 1941.
Kemudian pada tanggal 29 September 1943, pemimpin perjuangan bersenjata Yugoslavia Josip Bros Tito membentuk “Anti Facist Council for the National Liberation of Yugoslavia”, yang kemudian dijadikan hari kemerdekaan Yugoslavia. Setelah itu, pada 1944 terbentuk 6 negara bagian Republik Sosialis Yugoslavia: Serbia, Montenegro, Croatia, Macedonia, Slovenia dan Bosnia Harzegovina.
Setelah Tito meninggal, pertentangan etnis mulai nampak, terutama pada akhir tahun 80’an ketika  terjadikrisis ekonomi. Beberapa negara bagian kemudian bahkan ingin merdeka. Krisis politik pun memuncak, dan partai komunis yang saat itu berkuasa terpecah. Krisis politik ini, setelah melewati beberapa perang saudara,  berakhir dengan bubarnya Yugoslavia pada 1992.
Perpecahan Yugoslavia inilah, yang disaat kejatuhan rezim Orde Baru, memunculkan skenario tentang balkanisasi Indonesia. Skenario ini adalah wujud  pesimisme bahwa Indonesia tak akan sanggup keluar dari kekacauan yang demikian hebat menjelang dan setelah runtuhnya rezim Orde Baru.
Rand Corporation, salah satu think tank pemerintahan Bill Clinton,  pernah punya skenario bahwa Indonesia akan pecah menjadi 8 negara: Papua, Aceh, Timor Raya, Kalimantan Timur, Bali, Riau, Ambon dan sisanya masih bernama Indonesia.
Indikator Operasi Penggalangan Cerai Beraikan Indonesia
Skenario tersebut memang logis mengingat kondisi politik dan ekonomi kita yang sangat kacau akibat kriris ekonomi 1998. Indonesia saat itu berpotensi jadi negara gagal. Ini karena Indonesia juga sedang menghadapi separatis Aceh, dan Papua. Ditambah lagi dengan konflik SARA di sejumlah daerah seperti di Ambon, dan Kalimantan Tengah.  Konflik yang bersifat vertikal dan horizontal itulah yang memperkuat asumsi bahwa cara mudah menghancurkan Indonesia adalah dengan devide et impera alias pecah-belah dan jajah.
Beberapa kalangan Intelijen mengatakan, strategi tersebut didalangi oleh pihak asing melalui operasi penggalangan yang bertujuan menghancurkan Indonesia. Teori penggalangan adalah tahapan adu-domba, sebelum memasuki tahapan konsolidasi, dan diakhiri dengan eksploitasi.
Dikupas dari teori penggalangan tersebut, beberapa daerah masih menunjukkan indikasi  skenario Balkanisasi. Di Aceh misalnya, seperatisme secara ideologi masih berlanjut. Di sana para tokoh GAM, yang kini mendominasi arena politik, selalu mengobarkan semangat Bangsa Aceh untuk mengingatkan bahwa mereka seungguhnya berada di bawah penjajahan Indonesia. Pengingatan ini sengaja terus dikobarkan agar ketidaksenangan pada suku Jawa, yang sudah sejak  zaman Belanda, tinggal di Aceh, selalu terpelihara.
Lantas bagaimana mengaitkan peranan asing dalam  tahap konsolidasi dalam sebuah operasi Intelijen. Sangat jelas bahwa perjanjian damai antara pemerintah RI dengan GAM tidak lepas dari peranan Jusuf Kalla dan dr. Farid. Kedua tokoh ini memiliki kawan akrab bernama Juha Cristensen, warga Swedia yang lama berdomisili di Makasar dan lancar berbahasa Indonesia.
Juha Cristensen inilah yang kemudian menghubungkan Pemerintah Indonesia dengan pimpinan GAM (Gerakan Aceh Merdeka) di Swedia. Muara dari tahapan konsolidasi ini adalah penandatanganan MOU Helsinki pada 15Agustus 2005 silam.
Setelah tahapan konsolidasi, pihak asing kembali berperan pada tahap eksploitasi, yaitu dengan membuat kausal MOU Helsinki yang sangat merugikan Indonesia  dimana Aceh diberi status otonomi khusus; memiliki UU pemerintahan sendiri; memiliki wali Nanggroe, yang setara dengan raja semasa kejayaan Aceh Darussalam; dan  Aceh memiliki bendera dan lambang sendiri seperti di Yugoslavia sebelum pecah.
Kemudian bagaimana dengan Papua? Ternyata skenario pemisahannya hampir serupa dengan Aceh. Yaitu dimulai dengan menjadikan Papua sebagai daerah otonomi khusus. Posisi otonomi khusus ini terlebih dahulu diawali tahapan adu domba agar orang Papua selalu merasa dianak-tirikan karena bukan berasal dari rumpun melayu melainkan Austronesia.
Juga diciptakan kondisi ketidakamanan di wilayah Papua melalui rangkaian kejadian penembakan oleh OTK terhadap TNI, Polri maupun masyarakat biasa. Kejadian terakhir terjadi pada  8 Desember 2014 di Paniai. Situasi inilah yang akan dijadikan alasan intervensi asing, khususnya Amerika Serikat dan sekutunya.
Kejadian Paniai ini sudah memicu permintaan PBB agar pemerintah Indonesia memfasilitasi tim investigasi independen untuk mengusut tragedi penembakan di Paniai adalah salah satu bentuk intervensi halus. Pasalnya, PBB tidak akan pernah steril dari kepentingan negara-negara besar, termasuk dari AS dan sekutunya. Masuknya Intervensi asing ini adalah merupakan tahapan eksploitasi, yang menciptakan sasaran antara yaitu Internasionalisasi masalah Papua dan berujung pada sasaran utama lain.
Selanjutnya bagaimana dengan wilayah lain yang pernah mengalami konflik horizontal dan rasa saling benci belum hilang sepenuhnya tapi mengendap di bawah permukaan. Dalam konteks ini pembantaian terhadap orang Madura oleh Dayak di Kalimantan Tengah, atau perang Kristen-Islam di Ambon adalah yang paling relevan.
Lantas bagiamana dengan Bali, yang mulai disergap oleh kebencian terhadap orang Jawa akibat dampak sejarah keruntuhan Majapahit. Atau ketidakpuasan orang Riau pada pemerintah pusat karena merasa diperlakukan tidak adil pembagian jatah rezeki minyak bumi.
Dengan kompleksnya permasalahan yang kita hadapi, wajar saja jika Balkanisasi Indonesia masih menjadi perhatian pihak Barat, dan menjadi ancaman terhadap keutuhan Indonesia.   Sejumlah pengamat asing pernah mengemukakan bahwa Balkanisasi Indonesia bisa terjadi karena semakin kuatnya dorongan sejumlah daerahseperti Aceh dan Papua untuk memisahkan diri.
Waspada Balkanisasi
Pada tahun 2016, bukan tidak mungkin skenario Balkanisasi dapat menjadi salah satu proyek politik luar negeri AS, terutama jika Hillary Clinton berhasil memenangkan pemilu presiden AS. Patut  dicatat, rekomendasi Balkanisasi Nusantara yang pernah dirilis oleh Rand Corporation adalah skenario yang diusulkan di masa pemerintahan Bill Clinton. Dengan gaya politik luar negeri yang hampir sama, bukan tidak mungkin skenario Balkanisasi akan diadopsi oleh Hillary Clinton.
Eskalasi ketegangan di Papua bisa mengawali skenario besar perpecahan Indonesia. Bukan tidak mungkin eskalasi di Papua akan semakin berdarah-darah sehingga membuka peluang bagi Barat untuk melakukan invervensi. Bila akhirnya Papua lepas, bukan tidak mungkin akan disusul Aceh, Ambon, Kalimantan bagian Timur, Timor Raya, Riau dan Bali.
- See more at: http://indonesianreview.com/m-ahnas/cerai-beraikan-indonesia#sthash.NQpF3s6Y.dpuf
Ancaman Asing
IndonesianReview.com -- Ancaman disintegrasi bagi Indonesia bagai hantu yang selalu bergentayangan. Benarkah ini grand strategy bangsa lain yang takut akan kebangkitan Nusantara seperti di zaman Majapahit. 
Indonesia saat ini adalah negara majemuk terbesar  di dunia yang masih utuh dan berdaulat. Di Indonesia terdapat ratusan suku bangsa, yang masing-masing memiliki adat istiadat dan bahasa sendiri. Kedaulatan ini tak lepas dari Sumpah Pemuda, yang hingga saat ini masih menjadi faktor utama persatuan Indonesia. Sumpah ini adalah ikrar bertumpah darah satu, tanah air Indonesia; Berbangsa satu, Bangsa Indonesia; dan menjunjung bahasa Persatuan, Bahasa Indonesia.
Ikrar seperti itu tak dimiliki oleh Uni Soviet sehingga negara superkuat ini tak memiliki bahasa persatuan. Hal serupa juga terjadi di salah satu negara Balkan yaitu Yugoslavia padahal kemerdekan negara ini dicapai melalui banjir darah dan air mata. Demikian hebatnya perjuangan rakyat Yugoslavia sehingga sanggup mengusir tentara Nazi Jerman pada  4 Juli 1941.
Kemudian pada tanggal 29 September 1943, pemimpin perjuangan bersenjata Yugoslavia Josip Bros Tito membentuk “Anti Facist Council for the National Liberation of Yugoslavia”, yang kemudian dijadikan hari kemerdekaan Yugoslavia. Setelah itu, pada 1944 terbentuk 6 negara bagian Republik Sosialis Yugoslavia: Serbia, Montenegro, Croatia, Macedonia, Slovenia dan Bosnia Harzegovina.
Setelah Tito meninggal, pertentangan etnis mulai nampak, terutama pada akhir tahun 80’an ketika  terjadikrisis ekonomi. Beberapa negara bagian kemudian bahkan ingin merdeka. Krisis politik pun memuncak, dan partai komunis yang saat itu berkuasa terpecah. Krisis politik ini, setelah melewati beberapa perang saudara,  berakhir dengan bubarnya Yugoslavia pada 1992.
Perpecahan Yugoslavia inilah, yang disaat kejatuhan rezim Orde Baru, memunculkan skenario tentang balkanisasi Indonesia. Skenario ini adalah wujud  pesimisme bahwa Indonesia tak akan sanggup keluar dari kekacauan yang demikian hebat menjelang dan setelah runtuhnya rezim Orde Baru.
Rand Corporation, salah satu think tank pemerintahan Bill Clinton,  pernah punya skenario bahwa Indonesia akan pecah menjadi 8 negara: Papua, Aceh, Timor Raya, Kalimantan Timur, Bali, Riau, Ambon dan sisanya masih bernama Indonesia.
Indikator Operasi Penggalangan Cerai Beraikan Indonesia
Skenario tersebut memang logis mengingat kondisi politik dan ekonomi kita yang sangat kacau akibat kriris ekonomi 1998. Indonesia saat itu berpotensi jadi negara gagal. Ini karena Indonesia juga sedang menghadapi separatis Aceh, dan Papua. Ditambah lagi dengan konflik SARA di sejumlah daerah seperti di Ambon, dan Kalimantan Tengah.  Konflik yang bersifat vertikal dan horizontal itulah yang memperkuat asumsi bahwa cara mudah menghancurkan Indonesia adalah dengan devide et impera alias pecah-belah dan jajah.
Beberapa kalangan Intelijen mengatakan, strategi tersebut didalangi oleh pihak asing melalui operasi penggalangan yang bertujuan menghancurkan Indonesia. Teori penggalangan adalah tahapan adu-domba, sebelum memasuki tahapan konsolidasi, dan diakhiri dengan eksploitasi.
Dikupas dari teori penggalangan tersebut, beberapa daerah masih menunjukkan indikasi  skenario Balkanisasi. Di Aceh misalnya, seperatisme secara ideologi masih berlanjut. Di sana para tokoh GAM, yang kini mendominasi arena politik, selalu mengobarkan semangat Bangsa Aceh untuk mengingatkan bahwa mereka seungguhnya berada di bawah penjajahan Indonesia. Pengingatan ini sengaja terus dikobarkan agar ketidaksenangan pada suku Jawa, yang sudah sejak  zaman Belanda, tinggal di Aceh, selalu terpelihara.
Lantas bagaimana mengaitkan peranan asing dalam  tahap konsolidasi dalam sebuah operasi Intelijen. Sangat jelas bahwa perjanjian damai antara pemerintah RI dengan GAM tidak lepas dari peranan Jusuf Kalla dan dr. Farid. Kedua tokoh ini memiliki kawan akrab bernama Juha Cristensen, warga Swedia yang lama berdomisili di Makasar dan lancar berbahasa Indonesia.
Juha Cristensen inilah yang kemudian menghubungkan Pemerintah Indonesia dengan pimpinan GAM (Gerakan Aceh Merdeka) di Swedia. Muara dari tahapan konsolidasi ini adalah penandatanganan MOU Helsinki pada 15Agustus 2005 silam.
Setelah tahapan konsolidasi, pihak asing kembali berperan pada tahap eksploitasi, yaitu dengan membuat kausal MOU Helsinki yang sangat merugikan Indonesia  dimana Aceh diberi status otonomi khusus; memiliki UU pemerintahan sendiri; memiliki wali Nanggroe, yang setara dengan raja semasa kejayaan Aceh Darussalam; dan  Aceh memiliki bendera dan lambang sendiri seperti di Yugoslavia sebelum pecah.
Kemudian bagaimana dengan Papua? Ternyata skenario pemisahannya hampir serupa dengan Aceh. Yaitu dimulai dengan menjadikan Papua sebagai daerah otonomi khusus. Posisi otonomi khusus ini terlebih dahulu diawali tahapan adu domba agar orang Papua selalu merasa dianak-tirikan karena bukan berasal dari rumpun melayu melainkan Austronesia.
Juga diciptakan kondisi ketidakamanan di wilayah Papua melalui rangkaian kejadian penembakan oleh OTK terhadap TNI, Polri maupun masyarakat biasa. Kejadian terakhir terjadi pada  8 Desember 2014 di Paniai. Situasi inilah yang akan dijadikan alasan intervensi asing, khususnya Amerika Serikat dan sekutunya.
Kejadian Paniai ini sudah memicu permintaan PBB agar pemerintah Indonesia memfasilitasi tim investigasi independen untuk mengusut tragedi penembakan di Paniai adalah salah satu bentuk intervensi halus. Pasalnya, PBB tidak akan pernah steril dari kepentingan negara-negara besar, termasuk dari AS dan sekutunya. Masuknya Intervensi asing ini adalah merupakan tahapan eksploitasi, yang menciptakan sasaran antara yaitu Internasionalisasi masalah Papua dan berujung pada sasaran utama lain.
Selanjutnya bagaimana dengan wilayah lain yang pernah mengalami konflik horizontal dan rasa saling benci belum hilang sepenuhnya tapi mengendap di bawah permukaan. Dalam konteks ini pembantaian terhadap orang Madura oleh Dayak di Kalimantan Tengah, atau perang Kristen-Islam di Ambon adalah yang paling relevan.
Lantas bagiamana dengan Bali, yang mulai disergap oleh kebencian terhadap orang Jawa akibat dampak sejarah keruntuhan Majapahit. Atau ketidakpuasan orang Riau pada pemerintah pusat karena merasa diperlakukan tidak adil pembagian jatah rezeki minyak bumi.
Dengan kompleksnya permasalahan yang kita hadapi, wajar saja jika Balkanisasi Indonesia masih menjadi perhatian pihak Barat, dan menjadi ancaman terhadap keutuhan Indonesia.   Sejumlah pengamat asing pernah mengemukakan bahwa Balkanisasi Indonesia bisa terjadi karena semakin kuatnya dorongan sejumlah daerahseperti Aceh dan Papua untuk memisahkan diri.
Waspada Balkanisasi
Pada tahun 2016, bukan tidak mungkin skenario Balkanisasi dapat menjadi salah satu proyek politik luar negeri AS, terutama jika Hillary Clinton berhasil memenangkan pemilu presiden AS. Patut  dicatat, rekomendasi Balkanisasi Nusantara yang pernah dirilis oleh Rand Corporation adalah skenario yang diusulkan di masa pemerintahan Bill Clinton. Dengan gaya politik luar negeri yang hampir sama, bukan tidak mungkin skenario Balkanisasi akan diadopsi oleh Hillary Clinton.
Eskalasi ketegangan di Papua bisa mengawali skenario besar perpecahan Indonesia. Bukan tidak mungkin eskalasi di Papua akan semakin berdarah-darah sehingga membuka peluang bagi Barat untuk melakukan invervensi. Bila akhirnya Papua lepas, bukan tidak mungkin akan disusul Aceh, Ambon, Kalimantan bagian Timur, Timor Raya, Riau dan Bali.
- See more at: http://indonesianreview.com/m-ahnas/cerai-beraikan-indonesia#sthash.NQpF3s6Y.dpuf
Ancaman Asing
IndonesianReview.com -- Ancaman disintegrasi bagi Indonesia bagai hantu yang selalu bergentayangan. Benarkah ini grand strategy bangsa lain yang takut akan kebangkitan Nusantara seperti di zaman Majapahit. 
Indonesia saat ini adalah negara majemuk terbesar  di dunia yang masih utuh dan berdaulat. Di Indonesia terdapat ratusan suku bangsa, yang masing-masing memiliki adat istiadat dan bahasa sendiri. Kedaulatan ini tak lepas dari Sumpah Pemuda, yang hingga saat ini masih menjadi faktor utama persatuan Indonesia. Sumpah ini adalah ikrar bertumpah darah satu, tanah air Indonesia; Berbangsa satu, Bangsa Indonesia; dan menjunjung bahasa Persatuan, Bahasa Indonesia.
Ikrar seperti itu tak dimiliki oleh Uni Soviet sehingga negara superkuat ini tak memiliki bahasa persatuan. Hal serupa juga terjadi di salah satu negara Balkan yaitu Yugoslavia padahal kemerdekan negara ini dicapai melalui banjir darah dan air mata. Demikian hebatnya perjuangan rakyat Yugoslavia sehingga sanggup mengusir tentara Nazi Jerman pada  4 Juli 1941.
Kemudian pada tanggal 29 September 1943, pemimpin perjuangan bersenjata Yugoslavia Josip Bros Tito membentuk “Anti Facist Council for the National Liberation of Yugoslavia”, yang kemudian dijadikan hari kemerdekaan Yugoslavia. Setelah itu, pada 1944 terbentuk 6 negara bagian Republik Sosialis Yugoslavia: Serbia, Montenegro, Croatia, Macedonia, Slovenia dan Bosnia Harzegovina.
Setelah Tito meninggal, pertentangan etnis mulai nampak, terutama pada akhir tahun 80’an ketika  terjadikrisis ekonomi. Beberapa negara bagian kemudian bahkan ingin merdeka. Krisis politik pun memuncak, dan partai komunis yang saat itu berkuasa terpecah. Krisis politik ini, setelah melewati beberapa perang saudara,  berakhir dengan bubarnya Yugoslavia pada 1992.
Perpecahan Yugoslavia inilah, yang disaat kejatuhan rezim Orde Baru, memunculkan skenario tentang balkanisasi Indonesia. Skenario ini adalah wujud  pesimisme bahwa Indonesia tak akan sanggup keluar dari kekacauan yang demikian hebat menjelang dan setelah runtuhnya rezim Orde Baru.
Rand Corporation, salah satu think tank pemerintahan Bill Clinton,  pernah punya skenario bahwa Indonesia akan pecah menjadi 8 negara: Papua, Aceh, Timor Raya, Kalimantan Timur, Bali, Riau, Ambon dan sisanya masih bernama Indonesia.
Indikator Operasi Penggalangan Cerai Beraikan Indonesia
Skenario tersebut memang logis mengingat kondisi politik dan ekonomi kita yang sangat kacau akibat kriris ekonomi 1998. Indonesia saat itu berpotensi jadi negara gagal. Ini karena Indonesia juga sedang menghadapi separatis Aceh, dan Papua. Ditambah lagi dengan konflik SARA di sejumlah daerah seperti di Ambon, dan Kalimantan Tengah.  Konflik yang bersifat vertikal dan horizontal itulah yang memperkuat asumsi bahwa cara mudah menghancurkan Indonesia adalah dengan devide et impera alias pecah-belah dan jajah.
Beberapa kalangan Intelijen mengatakan, strategi tersebut didalangi oleh pihak asing melalui operasi penggalangan yang bertujuan menghancurkan Indonesia. Teori penggalangan adalah tahapan adu-domba, sebelum memasuki tahapan konsolidasi, dan diakhiri dengan eksploitasi.
Dikupas dari teori penggalangan tersebut, beberapa daerah masih menunjukkan indikasi  skenario Balkanisasi. Di Aceh misalnya, seperatisme secara ideologi masih berlanjut. Di sana para tokoh GAM, yang kini mendominasi arena politik, selalu mengobarkan semangat Bangsa Aceh untuk mengingatkan bahwa mereka seungguhnya berada di bawah penjajahan Indonesia. Pengingatan ini sengaja terus dikobarkan agar ketidaksenangan pada suku Jawa, yang sudah sejak  zaman Belanda, tinggal di Aceh, selalu terpelihara.
Lantas bagaimana mengaitkan peranan asing dalam  tahap konsolidasi dalam sebuah operasi Intelijen. Sangat jelas bahwa perjanjian damai antara pemerintah RI dengan GAM tidak lepas dari peranan Jusuf Kalla dan dr. Farid. Kedua tokoh ini memiliki kawan akrab bernama Juha Cristensen, warga Swedia yang lama berdomisili di Makasar dan lancar berbahasa Indonesia.
Juha Cristensen inilah yang kemudian menghubungkan Pemerintah Indonesia dengan pimpinan GAM (Gerakan Aceh Merdeka) di Swedia. Muara dari tahapan konsolidasi ini adalah penandatanganan MOU Helsinki pada 15Agustus 2005 silam.
Setelah tahapan konsolidasi, pihak asing kembali berperan pada tahap eksploitasi, yaitu dengan membuat kausal MOU Helsinki yang sangat merugikan Indonesia  dimana Aceh diberi status otonomi khusus; memiliki UU pemerintahan sendiri; memiliki wali Nanggroe, yang setara dengan raja semasa kejayaan Aceh Darussalam; dan  Aceh memiliki bendera dan lambang sendiri seperti di Yugoslavia sebelum pecah.
Kemudian bagaimana dengan Papua? Ternyata skenario pemisahannya hampir serupa dengan Aceh. Yaitu dimulai dengan menjadikan Papua sebagai daerah otonomi khusus. Posisi otonomi khusus ini terlebih dahulu diawali tahapan adu domba agar orang Papua selalu merasa dianak-tirikan karena bukan berasal dari rumpun melayu melainkan Austronesia.
Juga diciptakan kondisi ketidakamanan di wilayah Papua melalui rangkaian kejadian penembakan oleh OTK terhadap TNI, Polri maupun masyarakat biasa. Kejadian terakhir terjadi pada  8 Desember 2014 di Paniai. Situasi inilah yang akan dijadikan alasan intervensi asing, khususnya Amerika Serikat dan sekutunya.
Kejadian Paniai ini sudah memicu permintaan PBB agar pemerintah Indonesia memfasilitasi tim investigasi independen untuk mengusut tragedi penembakan di Paniai adalah salah satu bentuk intervensi halus. Pasalnya, PBB tidak akan pernah steril dari kepentingan negara-negara besar, termasuk dari AS dan sekutunya. Masuknya Intervensi asing ini adalah merupakan tahapan eksploitasi, yang menciptakan sasaran antara yaitu Internasionalisasi masalah Papua dan berujung pada sasaran utama lain.
Selanjutnya bagaimana dengan wilayah lain yang pernah mengalami konflik horizontal dan rasa saling benci belum hilang sepenuhnya tapi mengendap di bawah permukaan. Dalam konteks ini pembantaian terhadap orang Madura oleh Dayak di Kalimantan Tengah, atau perang Kristen-Islam di Ambon adalah yang paling relevan.
Lantas bagiamana dengan Bali, yang mulai disergap oleh kebencian terhadap orang Jawa akibat dampak sejarah keruntuhan Majapahit. Atau ketidakpuasan orang Riau pada pemerintah pusat karena merasa diperlakukan tidak adil pembagian jatah rezeki minyak bumi.
Dengan kompleksnya permasalahan yang kita hadapi, wajar saja jika Balkanisasi Indonesia masih menjadi perhatian pihak Barat, dan menjadi ancaman terhadap keutuhan Indonesia.   Sejumlah pengamat asing pernah mengemukakan bahwa Balkanisasi Indonesia bisa terjadi karena semakin kuatnya dorongan sejumlah daerahseperti Aceh dan Papua untuk memisahkan diri.
Waspada Balkanisasi
Pada tahun 2016, bukan tidak mungkin skenario Balkanisasi dapat menjadi salah satu proyek politik luar negeri AS, terutama jika Hillary Clinton berhasil memenangkan pemilu presiden AS. Patut  dicatat, rekomendasi Balkanisasi Nusantara yang pernah dirilis oleh Rand Corporation adalah skenario yang diusulkan di masa pemerintahan Bill Clinton. Dengan gaya politik luar negeri yang hampir sama, bukan tidak mungkin skenario Balkanisasi akan diadopsi oleh Hillary Clinton.
Eskalasi ketegangan di Papua bisa mengawali skenario besar perpecahan Indonesia. Bukan tidak mungkin eskalasi di Papua akan semakin berdarah-darah sehingga membuka peluang bagi Barat untuk melakukan invervensi. Bila akhirnya Papua lepas, bukan tidak mungkin akan disusul Aceh, Ambon, Kalimantan bagian Timur, Timor Raya, Riau dan Bali.
- See more at: http://indonesianreview.com/m-ahnas/cerai-beraikan-indonesia#sthash.NQpF3s6Y.dpuf

Tidak ada komentar:

Posting Komentar