
Ketika Asmaa bertanya ke mana ayahnya,
aku selalu merahasiakannya. Aku hanya menjawab ayahnya suatu saat nanti
akan kembali. Tapi, kini Asmaa sudah berusia 15 tahun. Ia juga sudah
hafal Al Qur’an dan terlihat lebih dewasa dari usianya. Maka kuceritakan
apa yang sebenarnya terjadi.
Pada 9 Ramadhan tahun 1395 H, mobil Abu
Salmaa terbalik saat pulang dari tempat kerja di Timur Saudi menuju
Riyadh. Kecelakaan itu begitu hebat hingga membuatnya langsung koma. Ia
segera dilarikan ke rumah sakit. Tim dokter spesialis yang menanganinya
mengatakan, suamiku mengalami kelumpuhan otak. 95 persen otaknya telah
mati.
Aku terus menungguinya. Bulan demi
bulan. Tahun demi tahun. Ujian kesetiaan datang, ketika lima tahun
berlalu dan suamiku belum juga sadarkan diri. Sebagian orang menyarankan
aku menikah lagi dengan didukung oleh rekomendasi seorang Syaikh.
“Tidak,” jawabku saat itu. “Selama suamiku belum dikubur, aku akan tetap
menjadi istrinya.”
Aku pun kemudian berkonsentrasi untuk
mentarbiyah Asmaa, di samping bergantian dengan keluarga menunggui suami
di rumah sakit. Aku kemudian memasukkan Asmaa ke sekolah tahfidz hingga
jadilah ia hafal Qur’an.
Sejak tahu ayahnya koma di rumah sakit,
Asmaa selalu membersamaiku ke sana. Ia mendoakan dan meruqyah ayahnya,
ia juga bersedekah untuk ayahnya.
Hingga suatu hari pada tahun 1410, Asmaa
meminta ijin menginap di rumah sakit. “Aku ingin menunggui ayah malam
ini” pintanya dengan nada mengiba. Aku tak bisa mencegah.
Malam itu, Asmaa duduk di samping
ayahnya. Ia membaca surat Al Baqarah di sana. Dan begitu selesai ayat
terakhirnya, rasa kantuk menyergapnya. Ia tertidur di dekat ayahnya yang
masih koma. Tak berapa lama kemudian, Asmaa terbangun. Ada ketenangan
dalam tidur singkatnya itu. lalu, ia pun berwudhu dan menunaikan shalat
malam.
Selesai shalat beberapa raka’at, rasa
kantuk kembali menyergap Asmaa. Tetapi, kantuk itu segera hilang ketika
Asmaa merasa ada suara yang memanggilnya, antara tidur dan terjaga.
“Bangunlah… bagaimana mungkin engkau tidur sementara waktu ini adalah
waktu mustajab untuk berdoa? Allah tidak akan menolak doa hamba di waktu
ini”
Asmaa pun kemudian mengangkat tangannya
dan berdoa. “Yaa Rabbi, Yaa Hayyu…Yaa ‘Adziim… Yaa Jabbaar… Yaa Kabiir…
Yaa Mut’aal… Yaa Rahmaan… Yaa Rahiim… ini adalah ayahku, seorang hamba
dari hamba-hambaMu, ia telah ditimpa penderitaan dan kami telah
bersabar, kami Memuji Engkau…, kemi beriman dengan keputusan dan
ketetapanMu baginya…
Ya Allah…, sesungguhnya ia berada di
bawah kehendakMu dan kasih sayangMu.., Wahai Engkau yang telah
menyembuhkan nabi Ayyub dari penderitaannya, dan telah mengembalikan
nabi Musa kepada ibunya… Yang telah menyelamatkan Nabi Yuunus dari perut
ikan paus, Engkau Yang telah menjadikan api menjadi dingin dan
keselamatan bagi Nabi Ibrahim… sembuhkanlah ayahku dari penderitaannya…
Ya Allah… sesungguhnya mereka telah
menyangka bahwasanya ia tidak mungkin lagi sembuh… Ya Allah milikMu-lah
kekuasaan dan keagungan, sayangilah ayahku, angkatlah penderitaannya…”
Sebelum Subuh, rasa kantuk datang lagi. Dan Asmaa pun tertidur.
“Siapa engkau, mengapa kau ada di sini?”
suara itu membangunkan Asmaa. Ia menoleh ke kanan dan ke kiri. Mencari
sumber suara. Tak ada orang. Betapa bahagia dirinya, ternyata suara itu
adalah suara ayahnya. Ia sadar dari koma panjangnya. Begitu bahagianya
Asmaa, ia pun memeluk ayahnya yang masih terbaring. Sang ayah kaget.
“Takutlah kepada Allah. Engkau tidak halal bagiku” kata sang ayah.
“Aku ini putrimu ayah. Aku Asmaa” tak menghiraukan keheranan sang ayah, Asmaa segera menghubungi dokter dan mengatakan apa yang terjadi.
“Aku ini putrimu ayah. Aku Asmaa” tak menghiraukan keheranan sang ayah, Asmaa segera menghubungi dokter dan mengatakan apa yang terjadi.
Para dokter yang piket pada pagi itu
hanya bisa mengucapkan “masya Allah”. Mereka hampir tak percaya dengan
peristiwa menakjubkan ini. Bagaimana mungkin otak yang telah mati kini
kembali? Ini benar-benar kekuasaan Allah.
Sementara Abu Asmaa, ia juga heran
mengapa dirinya berada di situ. Ketika Asmaa dan ibunya menceritakan
bahwa ia telah koma selama tujuh tahun, ia hanya bertasbih dan memuji
Allah. “Sungguh Allah Maha Baik. Dialah yang menjaga hamba-hambaNya”
simpulnya.
Demikianlah, aku sangat berbahagia
dengan keajaiban dari Allah ini. Aku hanya bisa bersyukur kepada Allah
yang telah mengokohkan kesetiaanku dan membimbingku untuk mentarbiyah
putriku. [Kisahikmah.com, kisah lebih lengkap bisa dibaca >>>> Disini