![]() |
Kartosoewirjo saat dieksekusi mati (foto:Istimewa) |
Kisah Tragis Persahabatan Soekarno dan Kartosoewirjo
Soekarno
dan Kartosoewirjo merupakan sahabat karib yang sama-sama berjuang
melawan penjajah asing menuju Indonesia merdeka. Mereka sama-sama
berguru kepada Hadji Oemar Said (HOS) Tjokroaminoto, dan membaca
kitab-kitab marxisme.
Hubungan persahabatan mereka sudah
terjalin sejak tahun 1918. Sejauh mana keakraban keduanya? Pengagum
Soekarno, Roso Daras memotret keakraban tersebut dalam bentuk
percakapan, hingga membuat suasana hubungan mereka terasa hangat.
Kisah
itu bermula dari pesan Tjokroaminoto yang menyatakan, "Jika kalian
ingin menjadi pemimpin besar, menulislah seperti wartawan, dan bicaralah
seperti orator". Pesan itu sangat diingat Soekarno, hingga setiap malam
dia selalu belajar pidato.
Setiap Soekarno belajar berpidato,
suaranya yang lantang terdengar sangat mengganggu kawan-kawannya yang
juga tinggal di rumah Tjokroaminoto, seperti Muso, Alimin, Kartosuwirjo,
dan Darsono. Tidak jarang, mereka yang mendengar tertawa.
Bahkan,
sering kali saat Soekarno sedang belajar berpidato, kawan-kawannya yang
lebih senior memintanya untuk berhenti, karena merasa terganggu. Namun,
Soekarno tetap melanjutkan pidatonya di depan kaca, di dalam kamarnya
yang gelap.
Salah seorang kawan Soekarno di rumah Tjokroaminoto
yang tidak pernah bosan memberikan kritik atas pidato-pidatonya adalah
Kartosuwirjo. Namun, tidak jarang kritik yang dilontarkan Kartosuwirjo
lebih kepada ejekan.
“Hei Karno, buat apa berpidato di depan
kaca? Seperti orang gila saja,” kata Kartosuwirjo suatu kali, kepada
Soekarno yang tengah belajar berpidato. Mendengar celetukan itu,
Soekarno diam saja terus melanjutkan pidatonya.
Setelah
pidatonya selesai, dia baru membalas ejekan Kartosoewirjo. Kalimat
pertamanya adalah penjelasan kenapa dia belajar berpidato sebagai
persiapan untuk menjadi orang besar. Pada kalimat kedua, Soekarno baru
membalas ejekan kawannya itu.
"Tidak seperti kamu, sudah kurus, kecil,
pendek, keriting, mana bisa jadi orang besar!” ketus Soekarno dibarengi
oleh tawa keduanya. Peristiwa itu terus berulang di rumah Tjokroaminoto,
hingga keduanya tumbuh dewasa.
Impian Soekarno untuk menjadi orang besar terwujud. Meletusnya pemberontakan komunis 1926-1927, membukakan jalan baginya untuk mendirikan partai politik yang bercorak nasionalis. Sementara Kartosoewirjo terus berjuang bersama Tjokroaminoto.
Dia bahkan menjadi sekretaris pribadi Tjokroaminoto, dan memilih Islam sebagai ideologi perjuangannya. Buku-buku marxisme yang dibacanya sama sekali tidak memengaruhinya untuk menjadi merah, dan ke kiri-kirian, seperti kebanyakan temannya.
Sebaliknya, ideologi Islam yang diperjuangkannya justru semakin kuat. Dengan marxisme sebagai pisau analisa, pemikiran Kartosoewirjo tentang penghisapan kapitalisme semakin tajam, dan kritis. Karir politiknya pun terus melonjak.
Perpecahan mulai timbul setelah Soekarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, pada 17 Agustus 1945. Terjadi tarik menarik kekuatan arah republik, antara yang menghendaki negara Uni Belanda, negara komunis, dan negara Islam.
Soekarno yang menyerap memiliki banyak ideologi, mulai dari marxis, Alquran dan Islam, serta kitab lainnya tidak ingin Indonesia menjadi negara Uni Belanda, komunis, dan berazaskan Islam. Sebaliknya, dia menawarkan asaz Pancasila.
Menurutnya, Pancasila adalah ideologi yang tumbuh dari bumi pertiwi, sesuai dengan pergulatan batin, intelektual, dan budaya luhur bangsa. Usulan Pancasila ini kemudian disampaikan Soekarno dalam pidato 1 Juni 1945.
Perlawanan hebat pertama-tama datang dari pihak komunis. Tahun 1948, kelompok Muso memproklamirkan Negara Madiun sebagai poros Soviet. Peristiwa yang dikenal dengan Pemberontakan Madiun ini dengan mudah ditumpas Pemerintah Republik.
Impian Soekarno untuk menjadi orang besar terwujud. Meletusnya pemberontakan komunis 1926-1927, membukakan jalan baginya untuk mendirikan partai politik yang bercorak nasionalis. Sementara Kartosoewirjo terus berjuang bersama Tjokroaminoto.
Dia bahkan menjadi sekretaris pribadi Tjokroaminoto, dan memilih Islam sebagai ideologi perjuangannya. Buku-buku marxisme yang dibacanya sama sekali tidak memengaruhinya untuk menjadi merah, dan ke kiri-kirian, seperti kebanyakan temannya.
Sebaliknya, ideologi Islam yang diperjuangkannya justru semakin kuat. Dengan marxisme sebagai pisau analisa, pemikiran Kartosoewirjo tentang penghisapan kapitalisme semakin tajam, dan kritis. Karir politiknya pun terus melonjak.
Perpecahan mulai timbul setelah Soekarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, pada 17 Agustus 1945. Terjadi tarik menarik kekuatan arah republik, antara yang menghendaki negara Uni Belanda, negara komunis, dan negara Islam.
Soekarno yang menyerap memiliki banyak ideologi, mulai dari marxis, Alquran dan Islam, serta kitab lainnya tidak ingin Indonesia menjadi negara Uni Belanda, komunis, dan berazaskan Islam. Sebaliknya, dia menawarkan asaz Pancasila.
Menurutnya, Pancasila adalah ideologi yang tumbuh dari bumi pertiwi, sesuai dengan pergulatan batin, intelektual, dan budaya luhur bangsa. Usulan Pancasila ini kemudian disampaikan Soekarno dalam pidato 1 Juni 1945.
Perlawanan hebat pertama-tama datang dari pihak komunis. Tahun 1948, kelompok Muso memproklamirkan Negara Madiun sebagai poros Soviet. Peristiwa yang dikenal dengan Pemberontakan Madiun ini dengan mudah ditumpas Pemerintah Republik.
Pemberontakan hebat selanjutnya datang dari
Kartosoewirjo, saat diproklamasikannya Negara Islam Indonesia (NII), di
Tasikmalaya, pada 7 Agustus 1949. Pemberontakan ini bahkan sanggup
menyebar ke Pulau Jawa, Aceh, dan Sulawesi Selatan.
Pemberontakan Kartosoewirjo berhasil ditumpas dengan tertangkapnya dia oleh pasukan TNI di Gunung Geber, Jawa Barat, pada 4 Juni 1962. Dia lalu dijatuhi hukuman mati. Yang menyedihkan, surat hukuman mati itu ditandatangani oleh Soekarno.
Sempat terjadi pergolakan hebat dalam batin Soekarno, saat harus membunuh sahabat karibnya sendiri, saudara seperguruan, dan teman seperjuangannya Kartosoewirjo. Tanpa tanda tangan Soekarno, tentu Kartowoewirjo tidak akan ditembak mati.
Proses eksekusi terhadap Kartosoewirjo sempat tertunda hingga tiga bulan. Sebabnya, Soekarno selalu menyingkirkan berkas kertas vonis mati atas diri Kartosoewirjo, manakala berkas itu berada di atas meja kerjanya.
Peristiwa ini sempat membuat Soekarno frustasi, hingga akhirnya dia lempar berkas vonis tersebut ke udara dan bercecer di lantai ruang kerjanya. Saat itu, putrinya Megawati Soekarnoputri lah yang menyadarkan sang ayah untuk kembali.
Megawati menggambarkan luhurnya hakikat pertemanan sejati, namun dia mengingatkan Soekarno agar menepati dharmanya sebagai kepala negara, kepala pemerintahan, serta tidak mencampur-adukkan antara hakikat persahabatan dengan tugasnya.
Akhirnya, pada September 1962, setelah lama termenung di meja kerjanya, dia menggoreskan tanda tangannya di atas berkas vonis Kartosoewirjo. Seketika, dia ingat hari-hari bersama Kartosoewirjo di medan perang.
Masih terdengar canda dan tawa, serta diskusi-diskusi politik, agama, kebangsaan, dan apa saja yang begitu hangat dengan sahabatnya itu. Dia lalu mengambil selembar foto Kartosoewirjo, dan menatapnya lama-lama, sambil berlinangan air mata.
Pemberontakan Kartosoewirjo berhasil ditumpas dengan tertangkapnya dia oleh pasukan TNI di Gunung Geber, Jawa Barat, pada 4 Juni 1962. Dia lalu dijatuhi hukuman mati. Yang menyedihkan, surat hukuman mati itu ditandatangani oleh Soekarno.
Sempat terjadi pergolakan hebat dalam batin Soekarno, saat harus membunuh sahabat karibnya sendiri, saudara seperguruan, dan teman seperjuangannya Kartosoewirjo. Tanpa tanda tangan Soekarno, tentu Kartowoewirjo tidak akan ditembak mati.
Proses eksekusi terhadap Kartosoewirjo sempat tertunda hingga tiga bulan. Sebabnya, Soekarno selalu menyingkirkan berkas kertas vonis mati atas diri Kartosoewirjo, manakala berkas itu berada di atas meja kerjanya.
Peristiwa ini sempat membuat Soekarno frustasi, hingga akhirnya dia lempar berkas vonis tersebut ke udara dan bercecer di lantai ruang kerjanya. Saat itu, putrinya Megawati Soekarnoputri lah yang menyadarkan sang ayah untuk kembali.
Megawati menggambarkan luhurnya hakikat pertemanan sejati, namun dia mengingatkan Soekarno agar menepati dharmanya sebagai kepala negara, kepala pemerintahan, serta tidak mencampur-adukkan antara hakikat persahabatan dengan tugasnya.
Akhirnya, pada September 1962, setelah lama termenung di meja kerjanya, dia menggoreskan tanda tangannya di atas berkas vonis Kartosoewirjo. Seketika, dia ingat hari-hari bersama Kartosoewirjo di medan perang.
Masih terdengar canda dan tawa, serta diskusi-diskusi politik, agama, kebangsaan, dan apa saja yang begitu hangat dengan sahabatnya itu. Dia lalu mengambil selembar foto Kartosoewirjo, dan menatapnya lama-lama, sambil berlinangan air mata.
Saat melihat foto sahabatnya itu, Soekarno
tersenyum dan berkata, “Sorot matanya masih tetap. Sorot matanya masih
sama. Sorot matanya masih menyinarkan sorot mata seorang pejuang.”
Pemerintah Indonesia kemudian menghukum mati Kartosoewirjo, pada 5 September 1962, di Pulau Ubi, Kepulauan Seribu, Jakarta. [LO/sindonews]
Pemerintah Indonesia kemudian menghukum mati Kartosoewirjo, pada 5 September 1962, di Pulau Ubi, Kepulauan Seribu, Jakarta. [LO/sindonews]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar