ucapan

TERIMA KASIH KUNJUNGAN DAN KOMENTARNYA SEMOGA BERMANFAAT

Senin, 18 Februari 2013

Guru dan Orang Tua kita: Al Ustadz Yusuf Supendi, Lc – Hafizhahullah


Oleh: Farid Nu’man Hasan


Dahulu,
Beliau –Hafizhahullah- adalah salah satu pendiri Partai Keadilan (PK) yang kemudian berganti menjadi Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Saat ini sudah tidak bersama lagi dengan komunitas yang pernah dia besarkan dan dia pun ikut besar bersamanya. Keberadaannya sebagai orang tua dan guru sangat diakui pada komunitas tersebut, khususnya bagi kader dan produk tarbiyah pada masa-masa 90-an dan awal 2000-an. Bagi kami, Beliau adalah guru dari guru-guru kami, Al Muwajih lil muwajihin. Terasa senang dan terhormat bisa menjadi murid dari murid-muridnya. Bagi seorang pembelajar yang baik tidak ada kata: mantan guru dan mantan orang tua, walaupun guru dan orang tua tersebut tidak disukainya.

Namun, betapa cepat siang ditelan oleh gelapnya malam. Beliau yang dahulu begitu dicintai dan hormati ribuan kader dan murid-muridnya, hari ini telah membuka front dengan mereka. Peristiwa pemecatan yang dialaminya beberapa tahun lalu –dan kami tidak akan membahas itu, membuatnya marah kepada sebagian qiyadah, lalu bersikap seakan mereka adalah musuhnya yang harus dimusnahkan. Kritik demi kritik dilontarkannya kepada qiyadah tersebut, hingga taraf menyerang kehidupan pribadi mereka. Lalu disambut oleh media massa yang memang sangat menyukai dan menanti kenyataan bahwa; PKS juga bisa pecah! Kritik itu terus terjadi sampai-sampai nampaknya Beliau -Hafizhahullah- akan terus melakukannya sampai benar-benar puas, yang justru itu membuat jarak antara dirinya dengan kader yang dulunya begitu mencintainya.

Benar, beberapa tokoh di komunitas tarbiyah ada yang mengikuti jejaknya baik yang mengundurkan diri (sebelum dipecat) atau dipecat karena masalah perbedaan konsep perjuangan, atau juga karena mereka berlisan tajam menyerang PKS membabi buta dalam berbagai forum. Hasilnya? Ada sebagian kecil kader yang mengikuti mereka, tapi umumnya masih solid bersama jamaah. Lalu media menyebutnya ini adalah perpecahan –lalu lahirlah klaim yang beredar: Faksi Keadilan dan Faksi Sejahtera, ini pula bacaan orang awam terhadap PKS. Sehingga, berhasil sudah bahwa PKS juga bisa berpecah seperti yang lainnya ......

Kini ....

Pasca itu, PKS dan kadernya kembali me-recovery keadaan mereka dari kegaduhan dan kebisingan. Mencoba untuk tidak mengoyak lagi luka yang perlahan-lahan mengering, karena memang perselisihan itu buruk kata Abdullah bin Mas’ud Radhiallahu ‘Anhu. Kembali sibuk dengan agenda-agenda kerja dan programnya di semua tingkatan pengurusan, serta tak lagi ambil pusing dengan segala komentar miring kepada mereka. Termasuk dalam menyikapi guru mereka, Al Ustadz Yusuf Supendi –semoga Allah ‘Azza wa Jalla memberikan hidayah kepada Beliau dan kita semua.

Semua berjalan mulai tenang, walau ada gelombang yang sifatnya sporadis mengganggu ketenangan tersebut. Mulai dari kasus Misbakhun, Fahri Hamzah dengan “Bubarkan KPK” dan “Selamat Natal”, Nasir Jamil dengan mengutip Injil, dan sebagainya. Tetapi ini pun bisa dilewati, baik dilewati dengan penjelasan, atau karena dilupakan begitu saja.

Hingga akhirnya datang tsunami politik bagi PKS, akhir Januari dan awal Februari 2013 adalah masa paling menyesakkan bagi semua jajaran PKS dari bawah hingga atas, yakni terseretnya Al Ustadz Luthfi Hasan Ishaq Hafizhahullah –sebagai Presiden PKS- dalam tuduhan menerima suap dari PT. Indoguna untuk mendapatkan quota import sapi bagi mereka. Yang jelas, sampai tulisan ini dibuat, proses masih berjalan dan belum ada vonis bersalah untuknya. Tapi, sebagian media, pengamat, dan publik berbondong-bondong terlanjur menghakiminya bersalah begitu pula terhadap partai yang dipimpinnya. Tak ketinggalan Al Ustadz Yusuf Supendi pun ikut ambil bagian, sepertinya media menantikan bahkan memancing agar Beliau ikut menghajar PKS. Sehingga isue tak lagi seputar daging sapi import, tapi memori publik sengaja disegarkan dengan kegaduhan tahun-tahun silam –seperti tudingan penggelapan uang oleh Al Ustadz Anis Matta dan Al Ustadz Hilmi Aminuddin Hafizhahumallah- agar nama baik PKS tidak kunjung pulih.

Allah Ta’ala berfirman :

إِذْ جَاءُوكُمْ مِنْ فَوْقِكُمْ وَمِنْ أَسْفَلَ مِنْكُمْ وَإِذْ زَاغَتِ الْأَبْصَارُ وَبَلَغَتِ الْقُلُوبُ الْحَنَاجِرَ وَتَظُنُّونَ بِاللَّهِ الظُّنُونَا هُنَالِكَ ابْتُلِيَ الْمُؤْمِنُونَ وَزُلْزِلُوا زِلْزَالًا شَدِيدًا

(yaitu) ketika mereka (pasukan Ahzab) datang kepadamu dari atas dan dari bawahmu, dan ketika tidak tetap lagi penglihatan(mu) dan hatimu naik menyesak sampai ke tenggorokan dan kamu menyangka terhadap Allah dengan bermacam-macam purbasangka. Disitulah diuji orang-orang mukmin dan digoncangkan (hatinya) dengan goncangan yang sangat. (QS. Al Ahzab (33): 10-11)

Bagi kami, -Anda dan Al Ustadz boleh tidak sepakat dengan kami –barakallahu fiikum, apa yang dilakukan oleh Al Ustadz Yusuf Supendi Hafizhahullah sudah pada tingkatan amarah, bukan lagi nasihat yang qaulan layyina (perkataan yang lembut), dan hujjah balighah (argumentasi yang dalam). Berbagai komentar Beliau, baik dikutip secara sepotong oleh laman berita online di internet, atau secara utuh di televisi, begitu terasa kebencian amarahnya terhadap qiyadah PKS, yang tentunya tidak bisa diterima oleh kader di bawahnya. Walau Beliau merasa yang dilakukannya adalah nahi munkar, pencerahan, dan nasihat untuk PKS. Namun tidak demikian menurut umumnya kader PKS.

Petinggi PKS Nampak tidak mempedulikan berbagai komentar Al Ustadz, tetapi komentar datangnya dari kader di bawah dan orang lain. Komentar balasan pun beragam, ada yang mendukungnya namun cukup banyak yang menyerang balik dengan cap dan sebutan yang juga tidak kalah pedasnya, dan tidak layak dilayangkan sesama muslim. Tetapi, inilah harga yang mesti dibayar olehnya dan oleh siapa pun yang bersikap sepertinya. Mereka merasa dianiaya oleh berbagai komentar dari Al Ustadz, akhirnya api itu mengepulkan asap yang balik menyesakkan dirinya ... Ini bisa terjadi di komunitas mana pun, jika Anda menyerang mereka maka bersiaplah mereka akan mempertahankan diri bahkan menyerang balik kepada Anda.

Allah Ta’ala berfirman:

لا يُحِبُّ اللَّهُ الْجَهْرَ بِالسُّوءِ مِنَ الْقَوْلِ إِلا مَنْ ظُلِمَ وَكَانَ اللَّهُ سَمِيعًا عَلِيمًا

Allah tidak menyukai Ucapan buruk, (yang diucapkan) dengan terus terang kecuali oleh orang yang dianiaya. Allah adalah Maha mendengar lagi Maha mengetahui. (QS. An Nisa (4): 148)


Dijelaskan dalam Tafsir Al Muyassar:

لا يُحِبُّ الله أن يَجهر أحدٌ بقول السوء، لكن يُباح للمظلوم أن يَذكُر ظالمه بما فيه من السوء; ليبيِّن مَظْلمته

Allah tidak menyukai seorang pun yang terang-terangan mengucapkan perkataan yang buruk, tetapi dibolehkan bagi orang yang dizalimi untuk menyebutkan pihak yang menzaliminya dengan perkataan yang terdapat keburukan dalam rangka menjelaskan kezalimannya itu. (Tafsir Al Muyyasar, 2/146)

Bisa saja Al Ustadz Yusuf Supendi merasa dirinya yang dizalimi, maka ayat ini adalah hujjah untuknya. Sebaliknya, kader PKS –padahal mereka adalah murid-muridnya- akan mengatakan bahwa merekalah yang dizalimi oleh berbagai komentar Al Ustadz –Hafizhahullah tentang PKS dan qiyadahnya, maka ayat ini adalah hujjah bagi mereka.


Kuatkan bukti sebelum menyebutnya bersalah ...

Alangkah baiknya kita semua, termasuk kami dan Al Ustadz Yusuf Supendi Hafizhahullah memperhatikan nasihat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berikut ini.
عنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: "لَوْ يُعْطَى النَّاسُ بِدعوَاهُمْ لادَّعَى رِجَالٌ أَمْوَال قَومٍ وَدِمَاءهُمْ، وَلَكِنِ البَينَةُ عَلَى المُدَّعِي، وَاليَمينُ عَلَى مَن أَنكَر" حديث حسن رواه البيهقي هكذا بعضه في الصحيحين.
Dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Seandainya semua manusia dipenuhi semua dakwaannya, niscaya akan ada seseorang yang akan menuntut sebuah kaum darah dan hartanya, tetapi orang yang mendakwakan (menuduh) mesti memberikan bukti, dan orang yang mengingkari mesti bersumpah.” (HR. Bukhari No. 1711, Muslim No. 4552, Al Baihaqi dalam As Sunan Ash Shaghir No. 2412, 2413, juga As Sunan Al Kubra No. 10585, 20990, Ath Thabarani dalam Al Mu’jam Al Kabir No. 11224, 11225, Ad Daruquthni dalam Sunannya, 4/157, Ibnu Hibban dalam Shahihnya No. 5082, 5083. Ini adalah lafaz menurut Imam Al Baihaqi)

Imam An Nawawi Rahimahullah mengatakan:
وَهَذَا الْحَدِيث قَاعِدَة كَبِيرَة مِنْ قَوَاعِد أَحْكَام الشَّرْع ، فَفِيهِ أَنَّهُ لَا يُقْبَل قَوْل الْإِنْسَان فِيمَا يَدَّعِيه بِمُجَرَّدِ دَعْوَاهُ ، بَلْ يَحْتَاج إِلَى بَيِّنَة أَوْ تَصْدِيق الْمُدَّعَى عَلَيْهِ
Hadits ini merupakan kaidah besar di antara kaidah dalam hukum-hukum syara’, di dalamnya menunjukkan bahwa laporan manusia tidaklah diterima jika sekedar tuduhan semata, tetapi hendaknya dia mendatangkan bukti atau pembenaran dari orang yang tertuduh. (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 12/3)

Syaikh Shalih bin Abdul Aziz Alu Asy Syaikh Hafizhahullah mengatakan:

أنها اسم عام جامع لكل ما يُبِينُ الحق، ويظهره
Dia (Al Bayyinah) adalah kata benda yang umum yang menghimpun apa saja yang dapat menjelaskan dan menampakkan kebenaran. (Syarh Matn Al Arbain An Nawawiyah, Syarah hadits No. 33)

Beliau juga mengatakan:
وأجمع أهل العلم على ما دل عليه هذا الحديث: من أن البينة على المدعي، وأن المدعي لا تؤخذ دعواه، ولا يلتفت لها من حيث مطالبتُه بشيء، حتى يأتي ببينة تثبت له هذا الحق. 
Para ulama telah ijma’ atas apa yang ditunjukkan oleh hadits ini, bahwa bukti mesti disodorkan oleh pihak yang menuduh, dan penuduh tidak akan diambil tuduhannya, dan tidak dianggap tuntutannya itu, sampai dia bisa mendatangkan bukti yang menguatkan kebenaran tuduhannya. (Ibid)

Kenapa dibutuhkan bukti? Imam Ash Shan’ani Rahumahullah menjelaskan hikmahnya:

قال العلماء والحكمة في كون البينة على المدعي أن جانب المدعي ضعيف لأنه يدعي خلاف الظاهر فكلف الحجة القوية وهي البينة فيقوى بها ضعف المدعي 
Berkata para ulama: hikmah tentang keberadaan bukti bagi si pendakwa (penuduh) adalah karena posisi penuduh itu lemah, lantaran dia mendakwakan sesuatu yang berbeda dengan keadaan yang tampak, maka dia dibebani untuk memiliki hujjah yang kuat, dan itu adalah bukti, yang dengannya bisa menguatkan kelemahan si penuduh. (Subulus Salam, 4/132)

Al Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullah mengatakan:

وَجَانِب الْمُدَّعَى عَلَيْهِ قَوِيّ لِأَنَّ الْأَصْل فَرَاغ فِي ذِمَّته فَاكْتُفِيَ مِنْهُ بِالْيَمِينِ وَهِيَ حُجَّة ضَعِيفَة
Pada sisi pihak tertuduh adalah posisi kuat, karena pada dasarnya dia telah terjamin keadaannya, maka cukup baginya dengan bersumpah, dan itu merupakan hujjah yang lemah. (Fathul Bari, 5/283)

Kemudian ….

Jika si penuduh berhasil menunjukkan bukti yang kuat, valid, dan autentik, dan sudah diakui kebenarannya oleh para ahli, dan diakui pula oleh hakim, serta saksi yang adil pun menguatkannya, sementara pihak yang tertuduh tidak bisa mengingkari bukti itu, dan juga tidak memiliki bukti dari sisi dirinya sendiri untuk mementahkan tuduhan tersebut, sehingga dia hanya bisa menggunakan sumpah saja padahal sumpah itu merupakan hujjah yang lemah, maka dia bisa dihukumi terbukti bersalah atas perbuatannya itu. Nah, apakah semua ini sudah terlihat pada berbagai tuduhan Al Ustadz kepada sebagian qiyadah PKS? Kita tunggu prosesnya ….

Namun, terlanjur berbagai tuduhan itu sudah menimpa PKS, bahkan dalam kasus sapi import ini, Al Ustadz Luthfi telah menjadi tersangka (bukan terdakwa apalagi terpidana) …. Dan bukankah sudah cukup menjadikannya tersangka untuk menjatuhkan PKS? Kalau pun Beliau bebas, dan tidak terbukti, toh publik sudah terlanjur menghakiminya … cukuplah itu membahgiakan mereka walau dia akhirnya bebas, dan bergembiralah para pembenci PKS.

Beginilah Ali bin Abi Thalib Radhiallahu ‘Anhu mengajarkan

Sebuah kisah tenar tentangnya. Beliau pernah kehilangan baju perang. Belakangan diketahui bahwa bajunya dicuri oleh seorang Yahudi. Ali Radhiallahu ‘Anhu menuntut untuk dikembalikan tapi si Yahudi menolaknya karena dia mengklaim sebagai miliknya. Akhirnya Ali Radhiallahu ‘Anhu mengadukan hal ini kepada hakim, dalam persidangan Ali Radhiallahu ‘Anhu tidak mampu memberikan bukti yang menguatkan dan meyakinkan hakim bahwa baju itu adalah miliknya, dan si Yahudi telah mencuri darinya. Akhirnya, Hakim memenangkan si Yahudi dan membebaskannya dari semua tuduhan Ali bin Abi Thalib Radhiallahu ‘Anhu.

Selesai peristiwa itu, justru si Yahudi mengaku dia mencuri dari Ali, dan dia masuk Islam karena terkagum dengan proses ini, dan betapa pentingnya bukti walau Ali adalah Khalifah dia tetap tidak dimenangkan karena tidak cukup bukti.

Apakah Ali marah? Apakah Ali dendam? Apakah Ali mengatakan yang tidak-tidak kepada Hakim atau kepada si Yahudi setelah itu? Tidak! Dia meridhai keputusan itu dan bisa menahan lisannya, betapa pun dia sangat meyakini kebenaran ada pada pihak dirinya dan kesalahan pada pihak si Yahudi, dan begitulah kenyataannya!

Belajar dari Ali Radhiallahu ‘Anhu, seandainya semua tudingan kepada qiyadah PKS yang dilaporkan Al Ustadz Yusuf Supendi dianggap lemah dan tidak cukup bukti, maka terimalah kenyataan itu, jika pun tidak mau terima, maka carilah bukti lain yang menguatkan kebenaran tuduhannya bukan mengulang-ulang character assassination (pembunuhan karakter) terhadap sebagian qiyadah itu di Media.

Belajar dari Al Ustadz Asy Syaikh Umar At Tilmisani Rahimahullah

Ketika Beliau ke London, para wartawan mencecarnya dengan berbagai pertanyaan tentang pemimpin Mesir. Beliau menolak menjawab, karena bukan akhlak Islam menceritakan keburukan pemimpin sendiri di negara lain. (Lihat 100 Nasihat Pemimpin Ikhwanul Muslimin)

Ya, inilah Syaikh Umar At Tilmisani, mursyid ‘am ke-3 gerakan Al Ikhwan. Begitu besar permusuhan pemimpin Mesir kepadanya dan kepada Al Ikhwan. Tetapi, dia tidak mau membalasnya dengan menggunjing pemimpin Mesir di tempat yang bukan seharusnya.

Belajar dari Asy Syaikh Muhammad Al Ghazali Rahimahullah

Beliau salah satu Syaikhul Ikhwan generasi awal. Menyatakan mundur dari Al Ikhwan, karena perselisihannya dengan Mursyid ‘Am ke-2, Asy Syaikh Hasan Al Hudaibi Rahimahullah. Menurutnya Asy Syaikh Hasan adalah seorang yang lemah yang tidak cocok memimpin organisasi sebesar Al Ikhwan.

Namun, hubungan Beliau dengan Mursyid ‘Am baik-baik saja. Tidak menyerang dan menggunjingnya baik di depan atau di belakangnya. Bahkan, Beliau pernah melindungi dan menjaga sepatu Asy Syaikh Hasan Al Hudaibi ketika sedang menghadiri acara yang digagas oleh Al Ikhwan. Perbedaan cara pandang dalam masalah keorganisasian tidak merusak hubungan pribadi di antara keduanya, tidak pula dendam.

Semoga Al Ustadz Yusuf Supendi Hafizhahullah, kami, dan pembaca sekalian, mendapatkan pelajaran dari sikap-sikap orang shalih ini. Dan, semoga Allah Ta’ala memberikan kasih sayang dan ampunanNya kepada guru dan orang tua kita, Al Ustadz Yusuf Supendi Hafizhahullah, dan juga kepada kita semua, serta menyatukan hati-hati kaum mu’minin dalam naungan cinta dan da’wahNya.

Wallahu A’lam

Minggu, 10 Februari 2013

10 Tarbiyah Characters (Muwashofat Tarbiyah)

1. Salimul Aqidah (Good Faith)

Aqidah yang bersih (salimul aqidah) 
merupakan sesuatu yang harus ada pada setiap muslim. Dengan aqidah yang bersih, seorang muslim akan memiliki ikatan yang kuat kepada Allah Swt dan dengan ikatan yang kuat itu dia tidak akan menyimpang dari jalan dan ketentuan- ketentuan-Nya. Dengan kebersihan dan kemantapan aqidah, seorang muslim akan menyerahkan segala perbuatannya kepada Allah sebagaimana firman-Nya yang artinya: ‘Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku, semua bagi Allah Tuhan semesta alam’ (QS 6:162). Karena memiliki aqidah yang salim merupakan sesuatu yang amat penting, maka dalam da’wahnya kepada para sahabat di Makkah, Rasulullah Saw mengutamakan pembinaan aqidah, iman atau tauhid.


2. Shahihul Ibadah (Right Devotion)
Ibadah yang benar (shahihul ibadah) merupakan salah satu perintah Rasul Saw yang penting, dalam satu haditsnya; beliau menyatakan: ’shalatlah kamu sebagaimana kamu melihat aku shalat.’ Dari ungkapan ini maka dapat disimpulkan bahwa dalam melaksanakan setiap peribadatan haruslah merujuk kepada sunnah Rasul Saw yang berarti tidak boleh ada unsur penambahan atau pengurangan.


3. Matinul Khuluq (Strong Character)
Akhlak yang kokoh (matinul khuluq) atau akhlak yang mulia merupakan sikap dan prilaku yang harus dimiliki oleh setiap muslim, baik dalam hubungannya kepada Allah maupun dengan makhluk-makhluk-Nya. Dengan akhlak yang mulia, manusia akan bahagia dalam hidupnya, baik di dunia apalagi di akhirat. Karena begitu penting memiliki akhlak yang mulia bagi umat manusia, maka Rasulullah Saw diutus untuk memperbaiki akhlak dan beliau sendiri telah mencontohkan kepada kita akhlaknya yang agung sehingga diabadikan oleh Allah di dalam Al- Qur’an, Allah berfirman yang artinya: ‘Dan sesungguhnya kamu benar- benar memiliki akhlak yang agung’ (QS 68:4).


4. Qowiyyul Jismi (Physical Power)
Kekuatan jasmani (qowiyyul jismi) merupakan salah satu sisi pribadi muslim yang harus ada. Kekuatan jasmani berarti seorang muslim memiliki daya tahan tubuh sehingga dapat melaksanakan ajaran Islam secara optimal dengan fisiknya yang kuat. Shalat, puasa, zakat dan haji merupakan amalan di dalam Islam yang harus dilaksanakan dengan fisik yang sehat atau kuat, apalagi perang di jalan Allah dan bentuk- bentuk perjuangan lainnya. Oleh karena itu, kesehatan jasmani harus mendapat perhatian seorang muslim dan pencegahan dari penyakit jauh lebih utama daripada pengobatan. Meskipun demikian, sakit tetap kita anggap sebagai sesuatu yang wajar bila hal itu kadang-kadang terjadi, dan jangan sampai seorang muslim sakit-sakitan. Karena kekuatan jasmani juga termasuk yang penting, maka Rasulullah Saw bersabda yang artinya: ‘Mu’min yang kuat lebih aku cintai daripada mu’min yang lemah’ (HR. Muslim).


5. Mutsaqqoful Fikri (Thinking Brilliantly)
Intelek dalam berpikir (mutsaqqoful fikri) merupakan salah satu sisi pribadi muslim yang penting. Karena itu salah satu sifat Rasul adalah fatonah (cerdas) dan Al-Qur’an banyak mengungkap ayat-ayat yang merangsang manusia antuk berpikir, misalnya firman Allah yang artinya: Mereka bertanya kepadamu tentang, khamar dan judi. Katakanlah: ‘pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya.’ Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: ‘Yang lebih dari keperluan.’ Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berpikir (QS 2:219). Di dalam Islam, tidak ada satupun perbuatan yang harus kita lakukan, kecuali harus dimulai dengan aktivitas berpikir. Karenanya seorang muslim harus memiliki wawasan keislaman dan keilmuan yang luas. Bisa kita bayangkan, betapa bahayanya suatu perbuatan tanpa mendapatka pertimbangan pemikiran secara matang terlebih dahulu. Oleh karena itu Allah mempertanyakan kepada kita tentang tingkatan intelektualitas seseorang sebagaimana firman-Nya yang artinya: Katakanlah:samakah orang yang mengetahui dengan orang yang tidak mengetahui, sesungguhnya orang-orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran (QS 39:9).


6. Mujahadatun Linafsihi (Continence)
Berjuang melawan hawa nafsu (mujahadatun linafsihi) merupakan salah satu kepribadian yang harus ada pada diri seorang muslim, karena setiap manusia memiliki kecenderungan pada yang baik dan yang buruk. Melaksanakan kecenderungan pada yang baik dan menghindari yang buruk amat menuntut adanya kesungguhan dan kesungguhan itu akan ada manakala seseorang berjuang dalam melawan hawa nafsu. Oleh karena itu hawa nafsu yang ada pada setkal diri manusia harus diupayakan tunduk pada ajaran Islam, Rasulullah Saw bersabda yang artinya: Tidak beragmana seseorang dari kamu sehingga ia menjadikan hawa nafsunya mengikuti apa yang aku bawa (ajaran islam) (HR. Hakim).


7. Harishun ‘ala Waqtihi (Good time management)
Pandai menjaga waktu (harishun ala waqtihi) merupakan faktor penting bagi manusia. Hal ini karena waktu itu sendiri mendapat perhatian yang begitu besar dari Allah dan Rasul-Nya. Allah Swt banyak bersumpah di dalam Al-Qur’an dengan menyebut nama waktu seperti wal fajri, wad dhuha, wal asri, wallaili dan sebagainya. Allah Swt memberikan waktu kepada manusia dalam jumlah yang sama setiap, Yakni 24 jam sehari semalam. Dari waktu yang 24 jam itu, ada manusia yang beruntung dan tak sedikit manusia yang rugi. Karena itu tepat sebuah semboyan yang menyatakan:
‘Lebih baik kehilangan jam daripada kehilangan waktu.’ Waktu merupakan sesuatu yang cepat berlalu dan tidak akan pernah kembali lagi. Oleh karena itu setiap muslim amat dituntut untuk memanaj waktunya dengan baik, sehingga waktu dapat berlalu dengan penggunaan yang efektif, tak ada yang sia-sia. Maka diantara yang disinggung oleh Nabi Saw adalah memanfaatkan momentum lima perkara sebelum datang lima perkara, yakni waktu hidup sebelum mati, sehat sebelum sakit, muda sebelum tua, senggang sebelum sibuk dan kaya sebelum miskin.


8. Munazhzhamun fi Syu’unihi (Well Organized)
Teratur dalam suatu urusan (munzhzhamun fi syuunihi) termasuk kepribadian seorang muslim yang ditekankan oleh Al-Qur’an maupun sunnah. Oleh karena itu dalam hukum Islam, baik yang terkait dengan masalah ubudiyah maupun muamalah harus diselesaikan dan dilaksanakan dengan baik. Ketika suatu urusan ditangani secara bersama-sama, maka diharuskan bekerjasama dengan baik sehingga Allah menjadi cinta kepadanya. Dengan kata lain, suatu udusán dikerjakan secara profesional, sehingga apapun yang dikerjakannya, profesionalisme selalu mendapat perhatian darinya. Bersungguh-sungguh, bersemangat dan berkorban, adanya kontinyuitas dan berbasih ilmu pengetahuan merupakan diantara yang mendapat perhatian secara serius dalam menunaikan tugas-tugasnya.


9. Qodirun ‘alal Kasbi (Independent)
Memiliki kemampuan usaha sendiri atau yang juga disebut dengan mandiri (qodirun alal kasbi) merupakan ciri lain yang harus ada pada seorang muslim. Ini merupakan sesuatu yang amat diperlukan. Mempertahankan kebenaran dan berjuang menegakkannya baru bisa dilaksanakan manakala seseorang memiliki kemandirian, terutama dari segi ekonomi. Tak sedikit seseorang mengorbankan prinsip yang telah dianutnya karena tidak memiliki kemandirian dari segi ekonomi. Karena itu pribadi muslim tidaklah mesti miskin, seorang muslim boleh saja kaya raya bahkan memang harus kaya agar dia bisa menunaikan haji dan umroh, zakat, infaq, shadaqah, dan mempersiapkan masa depan yang baik. Oleh karena itu perintah mencari nafkah amat banyak di dalam Al-Qur’an maupun hadits dan hal itu memilik keutamaan yang sangat tinggi. Dalam kaitan menciptakan kemandirian inilah seorang muslim amat dituntut memiliki keahlian apa saja yang baik, agar dengan keahliannya itu menjadi sebab baginya mendapat rizki dari Allah Swt, karena rizki yang telah Allah sediakan harus diambil dan mengambilnya memerlukan skill atau ketrampilan.


10. Naafi’un Lighoirihi (Giving Contribution)
Bermanfaat bagi orang lain (nafi’un lighoirihi) merupakan sebuah tuntutan kepada setiap muslim. Manfaat yang dimaksud tentu saja manfaat yang baik sehingga dimanapun dia berada, orang disekitarnya merasakan keberadaannya karena bermanfaat besar. Maka jangan sampai seorang muslim adanya tidak menggenapkan dan tidak adanya tirák mengganjilkan. Ini berarti setiap muslim itu harus selalu berpikir, mempersiapkan dirinya dan berupaya semaksimal untuk bisa bermanfaat dalam hal-hal tertentu sehingga jangan sampai seorang muslim itu tidak bisa mengambil peran yang baik dalam masyarakatnya. Dalam kaitan inilah, Rasulullah saw bersabda yang artinya: sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain (HR. Qudhy dari Jabir).
Demikian secara umum profil seorang muslim yang disebutkan dalam Al-Qur’an dan hadits, sesuatu yang perlu kita standarisasikan pada diri kita masing-masing.
berbagai sumber

Senin, 04 Februari 2013

Tatajaa faa junuubuhum "anil madlooji'

Tatajaa faa junuubuhum "anil madlooji'
Bismillahirrohmanirrohiim
Berikut akan kami sampaikan cuplikan siroh tentang shalat malamnya para sahabat dan Tabi’in dan orang-orang shaleh yang kesalehannya terus menjadi ibroh / hikmah yang baik bagi kita untuk memacu semangat kita beribadah dan istiqomah di jalannya. Semoga bermanfaat untuk penggemar setia Satu Hari, Satu Ayat Qur’an.

Shalat Malam-nya Abdullah bin Zubair
Beliau adalah seorang sahabat yang selalu mengerjakan shalat malam dan berpuasa di siang harinya. Beliau dijuluki “Merpati Masjid”. Ibnu Zubair adalah seorang yang tidak bisa dikalahkan dalam 3 hal, keberanian, ibadah dan kefasihan.
Diriwayatkan dari Muslim bin Yannaq , bahwa ia berkata , “Pada suatu hari, ‘Abdullah bin Zubair mengerjakan shalat, lalu beliau membacakan kepada kami Surat Al-Baqarah, An-Nisa, dan Al-Maidah tanpa mengangkat kepalanya ( dalam sekali raka’at). Mujahid berkata, “Abdullah bin Zubair jika sudah berdiri mengerjakan shalat, maka seakan ia adalah sebatang tongkat”.

Shalat Malamnya ‘Abdullah Bin Mas’ud
Abdullah Bin Mas’ud berkata , ‘Seyogyanya bagi seorang hafidz Qur’an untuk dikenal dengan malamnya (suka mengerjakan shalat malam) ketika orang-orang sedang tidur ; dikenal dengan siangnya ( puasa sunnahnya ) ketika orang-orang sedang berbuka ; dikenal dengan tangisnya ketika orang-orang tertawa,; dikenal dengan diamnya ketika orang-orang sedang berbaur ; dan dikenal dengan kekusyu’annya ketika orang-orang bersikap sombong”.

Diriwayatkan dari ‘Alqamah bin Qais ra. Bahwa ia berkata, “Aku pernah bermalam bersama ‘Abdullah bin Mas’ud ra. Lalu beliau beribadah di awal malam, kemudian beliau berdiri untuk mengerjakan shalat. Beliau membaca Al Qur’an seperti seorang imam membaca Qur’an di kampungnya. Ia membacanya secara tartil tanpa mengulangnya, sedangkan orang yang ada di sekelilingnya dapat mendengarnya. Hal ini terus berlangsung hingga tidak ada yang tersisa dari keadaan gelap kecuali sebagaimana rentang waktu antara adzan maghrib hingga selesai mengerjakan shalat Maghrib, kemudian beliau mengerjakan shalat witir.

Shalat Malamnya Fatimah binti Rasulullah SAW
Al-Hasan ra. Berkata , “di kalangan umat ini tidak ada yang lebih hebat ibadahnya daripada Fatimah Binti Rasulullah SAW. Ia mengerjakan shalat di waktu sahur hingga bengkak kedua telapak kakinya. Rasulullah Sallaulahualaihiwassalam pun mengerjakan shalat malam hingga bengkak kedua telapak kakinya, padahal beliau sudah mendapatkan ampunan atas dosa yang telah lampau maupun akan datang. Air mata Beliau menetes di tempat shalat seperti tetesan air hujan.”

Shalat Malamnya ‘Abdullah bin Amru
Menjelang wafatnya, Ibnu Umar berkata , : “Aku tidak pernah terhibur oleh sesuatu dari dunia ini kecuali oleh rasa haus di siang hari karena berpuasa dan penderitaan di malam hari ( shalat malam).


PARA TABI'IN dan ORANG-ORANG SHALEH DI DUNIA

Shalat Malamnya Muadzah Al Adawiyah
Diriwayatkan bahwa beliau pernah mengerjakan shalat di siang hari sebanyak 600 raka’at. Ia pernah berkata, Sungguh aneh, kenapa mata ini bisa tidur padahal ia tahu betapa panjang masa tidur di kegelapan kubur.

Shalat Malamnya Imam Syafi ‘i
Husain Al-Karabisi berkata , “Aku pernah bermalam bersama Imam Syafi’I , sekitar sepertiga malam ia gunakan untuk mengerjakan shalat, setahu saya, Beliau tidak lebih membaca lima puluh ayat. Kalaupun lebih, paling tidak hanya 100 ayat. Tidaklah beliau melewati ayat tentang rahmat Allah Ta’ala melainkan beliau memohon rahmat Allah untuk diri dan kaum mukmin seluruhnya . Dan tidaklah beliau melewati ayat mengenai azab, melainkan beliau pasti memohon perlindungan Allah Ta’ala dari azab untuk dirinya dan kaum mukminin seluruhnya.Seakan beliau memadukan antara rasa harap dan cemas.

Shalat Malamnya Imam Ahmad bin Hanbal
Beliau berkata, “Aku mengerjakan shalat malam dalam beberapa raka’at saja sudah cukup untuk mengkhatamkan bacaan Al-Qur’an”.
Diriwayatkan dari ‘Abdullah bin Ahmad bin Hanbal bahwa ia berkata , “Setiap hari, ayahku membaca Al QUr’an sebanyak 7 kali. Dan mengkhatamkan nya setiap tujuh hari sekali. Beliau juga mengkhatamkan Al-Quran setiap tujuh malam sekali, selain dalam shalat di siang hari. Sesekali beliau mengerjakan shalat Isya’, kemudian tidur sejenak, kemudian bangun hingga subuh dalam rangka mengerjakan shalat malam dan memanjatkan doa malamnya.
“Ayahku mengerjakan shalat malam setiap hari sebanyak 300 raka’at. Dan ketika beliau sakit karena dihukum cambuk oleh penguasa lalim, maka membuat fisik ayahku lemah, sehingga beliau mengerjakan shalat malamnya hanya 150 raka’at.

Shalat Malamnya ‘Amir bin Qais
Qatadah berkata, “menjelang wafat, Amir bin Qais menangis. Apa yang membuatmu menangis?
Aku tidaklah menangis karena takut mati dan juga bukan karena tamak akan dunia. Akan tetapi, aku menangis karena tidak bisa lagi menahan haus di siang hari (berpuasa) dan tidak lagi bisa mengerjakan shalat malam.”
Beliau mengerjakan shalat malam hingga bengkak-bengkak kedua telapak kakinya. Istrinya pernah bertanya kepada beliau, “Orang-orang sedang tidur, mengapa engkau tidak juga tidur ? “
Jawab Beliau, “ Sesungguhnya Jahanam tidak pernah membiarkanku untuk bisa tidur”.

Lantas , bagaimana dengan kita ?
Adakah kita bisa mencontoh mereka dengan hal seperti ini ?

Wallahu ‘alam bi shawab.



Marraji :

Qiyamul Lail Wa Asraruhu
by Yusuf Kaththar Muhammad